Minggu, 29 Agustus 2010

Anggaran Penegakan Kedaulatan NKRI Minim


30 Agustus 2010, Jakarta -- Alokasi anggaran yang disediakan pemerintah untuk menegakkan kedaulatan atas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hingga saat ini dinilai masih sangat minim. Hal itu terlihat dari sedikitnya porsi APBN yang diperuntukkan bagi pembiayaan pertahanan dan keamanan.

"Rancangan APBN 2011 belum dapat menyediakan anggaran yang memadai untuk membiayai kekuatan pokok minimum. Karena, hanya mampu menyuplai seperlima dari anggaran minimum," ujar anggota DPD dari daerah pemilihan Kepulauan Riau Aida Zulaika Nasution Ismeth dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Jakarta, akhir pekan lalu.

Sementara itu, dia menilai, tingkat kesiapan alat utama sistem persenjataan, terutama untuk matra laut dan udara juga kurang dari 50 persen. Bahkan, di dalam Rencana Kerja dan anggaran kementerian/lembaga tahun 2011, khususnya matra laut ternyata tidak memasukkan rencana pembelian kapal perang baru.

"Yang ada itu hanyalah hanyalah pengadaan material untuk alat utama sistem persenjataan strategis sebanyak 11 unit. Jelas terlihat bagaimana minimnya perhatian pemerintah mengenai masalah keamanan dan pertahanan kedaulatan NKRI," ujarnya.

Hal tersebut, tutur Aida, perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah, terlebih lagi dengan melihat konflik Indonesia dengan Malaysia mengenai perbatasan yang sampai saat ini belum terselesaikan.

Menyinggung masalah perbatasan yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia, dia menilai, akibat perjanjian antara Belanda dan Inggris di London yang disebut The Boundaries Convention. Kemudian The Boundary agreement Belanda-Inggris di Hague pada 26 Maret 1918. Perjanjian kesepahaman (MOU) Indonesia-Malaysia di Jakarta pada 26 November 1973.

Demikian pula, dengan peta dasar yang digunakan masing-masing negara juga berbeda. Indonesia memakai peta 2009, sedangkan Malaysia memakai peta 1979. Ditambah lagi, ujar dia, dengan terpisahnya Singapura dari Malaysia yang juga menyisakan soal perbatasan.

Karena itulah, dia berharap pemerintah dapat secepatnya melakukan pembicaraan untuk membahas dan memperjelas masalah itu.

"Sampai sejauh ini, kita juga masih kurang memperhatikan masalah laut dan perbatasan karena terlalu berfokus pada persoalan darat dan pusat," katanya.

Mandul

Dalam kesempatan yang sama, peneliti LIPI Indria Samego menilai, insiden yang terjadi di perairan Kepulauan Riau yang mengakibatkan ditangkapkan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Batam oleh polisi Malaysia memperlihatkan mandulnya pemerintah Indonesia.

"Saya melihat kasus ini adalah bentuk pemerintah yang tidak memerintah. Pemerintah cenderung reaktif terhadap permasalahan yang menyangkut perbatasan negara. Padahal perhatian pemerintah juga sangat diperlukan khususnya untuk menjaga pagar perbatasan," katanya.

Dia menilai, munculnya sejumlah kasus di perbatasan dikarenakan dari sisi budaya keamanan, Indonesia diangap belum memiliki budaya untuk mentaati aturan keamanan yang telah ada.

Sedangkan, dari sisi politik, pemerintah dan DPR juga terlihat lalai untuk mengurusi daerah, terutama yang berada di wilayah perbatasan.

Indria menjelaskan, permasalahan perbatasan yang sering terjadi beberapa waktu terakhir ini juga disebabkan sentralisasi ekonomi yang hanya berfokus di pusat.

Terlihat jelas, ujar dia, terabaikan pembangunan untuk wilayah-wilayah perbatasan.

"Yang paling jelas terlihat adalah masalah infrastruktur yang kondisinya masih sangat memprihatinkan. Hal ini mengakibatkan daerah semakin tidak berkembang," katanya.

Suara Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar