Rabu, 25 Agustus 2010

KSAL: Belum Perlu Gelar Pasukan


26 Agustus 2010, Jakarta -- Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana TNI Agus Suhartono menyatakan, keberadaan kapal-kapal patroli TNI Angkatan Laut di beberapa titik perbatasan maritim Indonesia dengan negara tetangga, masih dalam kapasitas cukup dan efektif.

Oleh karena itu, gelar pasukan untuk mengantisipasi pelanggaran perbatasan yang dilakukan Malaysia belum perlu dilakukan.

"Keberadaan personil dan kapal-kapal patroli masih cukup. Tak perlu ada penambahan dan gelar pasukan," ujar KSAL kepada Suara Karya di sela-sela peresmian Komite Olah Raga Militer Indonesia di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu (25/8).

Maritim Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, India, Australia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Palau (berbatasan Ambon), Thailand dan Timor Leste. Sebanyak 16 perbatasan telah diselesasikan Kementerian Luar Negeri RI dengan 10 negara itu, baik bilateral maupun trilateral.

Sementara itu, untuk batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dengan Malaysia masih harus menyelesaikan persoalan perbatasan maritim untuk zona ekonomi eksklusif (ZEE), di antaranya di Selat Malaka, Laut China Selatan, laut wilayah dan landas kontinen di laut Sulawesi yang saat ini sedang menjadi perhatian, perairan utara Pulau Bintan dan Pulau Batam. "Keberadaan kapal-kapal kita di sana masih cukup untuk mengawasi," ujar Agus.

Menurut Agus, batas maritim Indonesia berdasarkan peta Nomor 349/ 2009 tentang Batas Maritim Indonesia. "Tidak ada wilayah abu-abu pada posisi Indonesia. Karena itu, TNI AL tetap berada pada posisi di wilayah maritim Indonesia," ujarnya.

Nelayan WNI ditahan

Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengemukakan bahwa sebenarnya terdapat nelayan asal Indonesia yang masih menjalani penahanan di Malaysia. "Kami mendapat laporan dari keluarga korban bahwa enam nelayan asal Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ditahan di Penjara Kedah, Malaysia," kata Sekretaris Jenderal Kiara Riza Damanik.

Menurut Riza, nama dari para nelayan tersebut adalah Zulham (40), Mahmud (45), Hamid (45), Ahmad (25), Ismail (42), dan Syahrial (48).

Namun, ia tidak menjelaskan lebih lanjut, mengapa para nelayan itu bisa ditahan di penjara negeri jiran tersebut. Kiara mendesak agar negara melalui instansi yang terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Luar Negeri segera melakukan pembelaan terhadap para nelayan yang ditahan.

LSM tersebut juga mendesak agar pemerintah memperhatikan masalah kelautan lainnya yang penting seperti tidak tuntasnya pencemaran Laut Timor.

"Hingga kini tidak ada akurasi data dan informasi yang solid seperti nilai kerugian, wilayah dan substansi terdampak, serta jumlah korban langsung atau tidak langsung," katanya.

Pencemaran di Laut Timor terjadi akibat instalasi di kilang minyak Montara meledak pada Agustus 2009, dan meluas hingga ke perairan di sekitar Kabupaten Rote Ndao bahkan hingga Laut Sawu, terutama sekitar Kabupaten Sabu Raijua dan areal pantai selatan Pulau Timor.

Sebelumnya, tiga LSM yaitu Migrant Care, Kontras, dan Infid juga mendesak agar pemerintah harus serius memperjuangkan pembelaan terhadap ratusan WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia.

Berbagai LSM itu menghendaki agar pemerintah segera melakukan diplomasi HAM ke Malaysia karena Indonesia memiliki kewajiban penghormatan HAM bagi setiap orang sebagaimana yang sudah dijamin di dalam konstitusi.

Selain itu, terkait dengan dua vonis hukuman mati terhadap dua WNI yang berinisial BS dan TI, pemerintah Indonesia juga didesak untuk segera melakukan diplomasi politik ke pemerintah Malaysia.

Suara Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar