(Oleh: A. Hajar Sanusi, Pikiran Rakyat)
Pada suatu ketika Allah SWT menguji keluarga Ali bin Abi Tholib ra. Salah seorang dari kedua anaknya ditimpa demam tinggi. Demi kesembuhannya, ia melakukan pelbagai ikhtiar.
Mulai dari usaha konvensional hingga bersifat spiritual, seperti dengan memberikan tindakan medis yang selaras dengan konteks zaman. Atau, lewat doa, bahkan bernazar. Dalam nazarnya itu Ali bin Abi Tholib ra. menyatakan bahwa ia akan melaksanakan puasa selama tiga hari berturut-turut apabila anaknya itu sembuh.
Segala puji milik Allah. Selang beberapa waktu, kesehatan anaknya pulih kembali. Allah SWT mengabulkan doanya. Oleh karena itu, ia sangat bersyukur. Maka, keesokan hari ia mulai melaksanakan puasa nazarnya. Dalam hal ini ia disertai istri tercintanya, Fatimah al-Zahra binti Rusulullah saw.
Waktu bergulir. Pagi berganti siang. Petang menyusul, kemudian waktu magrib pun akhirnya tiba. Ketika pasangan suami-istri itu hendak berbuka dengan makanan alakadarnya, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang.
Tamu yang tidak diundang itu ternyata seorang miskin papa. Ia datang untuk meminta belas kasihan, karena didera lapar seharian penuh. Tanpa berpikir panjang, keluarga suci itu segera memberikan makanan yang sedianya akan mereka santap. Tidak heran malam itu mereka berbuka hanya dengan beberapa teguk air.
Esoknya mereka berpuasa lagi. Hari itu berlalu seperti biasa. Namun, kala waktu magrib tiba, pintu rumah lagi-lagi diketuk orang. Kini yang datang adalah seorang anak yatim. Sebelum yang bersangkutan mengutarakan maksudnya, mereka sudah jatuh iba. Kondisi anak yatim itu memang sangat memprihatinkan sehingga mereka memberinya makanan, yang sejatinya dipersiapkan untuk berbuka puasa. Malam itu pun mereka lalui dengan perut lapar.
Kini mereka telah berada pada hari ketiga dari puasa nazarnya. Karena berkah Allah SWT dalam segala hal, mereka tampil tetap dalam kondisi prima. Tidak kecuali dalam menjalani maisyah, atau kehidupan dunia ini. Sebagaimana hari-hari sebelumnya, ketika menjelang magrib, ketika mereka mempersiapkan diri untuk berbuka, seseorang datang memohon belas kasihan.
Kali ini adalah tawanan perang. Lantaran mengutamakan orang lain sudah menjadi sifat kelurga itu, tidak mengejutkan jika makanan yang sudah terhidang untuk berbuka pun mereka berikan kepadanya dengan penuh keikhlasan.
Dengan demikian, selama keluarga suci itu menunaikan puasa nazar, maka tidak sebutir kurma atau sepotong roti pun yang masuk ke perut mereka. Sungguh mengagumkan perilaku pasangan suami-istri itu. Mereka sanggup menahan lapar berhari-hari, lantaran lebih mengutamakan orang lain dari kalangan akar rumput. Lagi pula, semua itu mereka lakukan tanpa pamrih, kecuali mengharapkan rida Allah SWT.
Atas kedermawanan Ali bin Abi Tholib ra. Dan Fatimah al-Zahra tersebut, menurut Ibn Abbas, Allah SWT berkenan menurunkan ayat-ayat berikut ini.
“Mereka melaksanakan nazar dan takut akan sesuatu, yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukai kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan. Sungguh, kami memberikan makanan kepadamu hanyalah demi mengharap keridaan Allah SWT. Kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari, yang pada saat itu orang-orang bermuka masam penuh kesulitan, yang datang dari Tuhan kami” (lihat QS Al-Insan/76:7-10).
Wahyu itu turun, jelas sebagai bentuk apresiasi terhadap kedermawanan Ali bin Abi Tholib ra. dan istrinya, Fatimah binti Rasulullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar