Sabtu, 21 Agustus 2010

Di Laut Kita Penonton


22 Agustus 2010 -- Dua hari pasca-insiden Tanjung Berakit, Minggu (15/8), Kompas bersama sejumlah wartawan lain berkesempatan ikut dalam reka ulang menentukan lokasi kejadian. Saat itu kami naik Kapal Patroli Taka milik Polisi Perairan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau.

Kegiatan tersebut dipimpin Direktur Polisi Perairan Kepolisian Daerah (Polda) Kepulauan Riau (Kepri) Ajun Komisaris Besar M Yassin Kosasih. Hadir pula Direktur Reserse Kriminal Polda Kepri Komisaris Besar Ahmad Nurdin, Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam Yulisbar, dan Perwira Staf Operasional Pangkalan TNI Angkatan Laut Batam Mayor Yudi Priyatno.

Di perairan Republik Indonesia, ada tiga lembaga yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab penegakan hukum, yakni TNI AL, Polisi Perairan, dan PSDKP. Artinya, ketiga lembaga tersebut terwakili semua dalam rombongan.

Kapal Patroli (KP) Taka berangkat dari Batam pukul 11.00. Dua jam kemudian, kapal tiba di perairan Tanjung Berakit di Kepri yang menjadi lokasi insiden.

Singkat kata, KP Taka berhenti di dua titik yang menjadi lokasi insiden. Setelah mendapatkan koordinat dengan peralatan global positioning system (GPS), kapal meluncur kembali ke arah Batam.

Di tengah perjalanan pulang, sebuah panggilan tiba-tiba masuk melalui alat komunikasi KP Taka. Nakhoda KP Taka yang namanya tak sempat saya catat langsung menerima panggilan tersebut.

Ternyata panggilan berasal dari Kapal Patroli Angkatan Laut Singapura. Mereka memperingatkan, KP Taka sudah sedikit masuk ke wilayah Singapura.

Tentu saja rombongan dalam KP Taka agak terkejut. Pasalnya, dalam peta elektronik di KP Taka, kapal masih berada di wilayah perairan RI. Dan, kenyataannya, memang KP Taka berada di wilayah RI. Tak ada insiden dalam peristiwa itu dan KP Taka meneruskan perjalanan ke Batam.

Getol berpatroli

Salah seorang peserta rombongan di KP Taka mengatakan, Singapura memang getol berpatroli di wilayahnya dan mengawasi wilayah yang diklaim sebagai wilayahnya. Dengan setengah berseloroh dia menyebut, Singapura bisa rutin berpatroli karena bahan bakar minyak (BBM) mereka unlimited. Sekadar diketahui, untuk sekali patroli, kapal ”minum” ratusan liter BBM.

Singapura tidak hanya aktif di perairan wilayahnya saja, tetapi juga di Traffic Separation Scheme (TSS) atau alur internasional di antara Singapura dan Batam. Setiap kali ada kejadian di alur internasional, Singapura-lah yang menjadi seksi sibuk.

Contohnya pada 25 Mei lalu, saat terjadi tabrakan antara kapal tanker berbendera Malaysia, Bunga Kelana 3, dan kapal kargo berbendera St Vincent dan Granada, Waily. Lokasi kejadian berada 3 mil dari Singapura dan 4,2 mil dari Pulau Batam. Sekitar 2.000 ton minyak bumi mentah tumpah di lautan dalam kejadian tersebut.

Singapore Police Coast Guard adalah pihak yang dihubungi nakhoda kedua kapal tersebut. Dan, mereka pula yang turun mengatasi permasalahan. Sementara aparat di Indonesia yang menerima informasi dari Singapore Police Coast Guard hanya menonton dan ”foto-foto” untuk laporan ke Jakarta.

Menurut Kepala Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kota Batam Agusman, pihaknya memang tidak bisa berbuat banyak untuk kejadian seperti itu. Alasannya, belum ada peralatan untuk melokalisasi tumpahan minyak yang disiagakan di Kepri.

Dari kejadian sibuknya Singapura di alur internasional dan peringatan dari Kapal Patroli Angkatan Laut Singapura, tampak jelas eksistensi Singapura di lautan. Indonesia, sebaliknya, kurang eksis dan pasif. Bahkan, pada insiden Tanjung Berakit, eksistensi Indonesia tampak rapuh dalam menghadapi Malaysia. Bayangkan, kapal cepat patroli Dolphine 015 milik Satker PSDKP Batam terpaksa ngacir dalam kegelapan menghadapi kapal patroli Polis Diraja Malaysia. Malaysia bersenjata, sedangkan Indonesia tangan kosong. Jadi, apa boleh buat. Ironisnya, itu semua terjadi di wilayah kedaulatan RI.

Akhir cerita, semua sudah tahu. Tujuh maling ikan Malaysia ditukar dengan tiga aparat negara Indonesia. Dan, tak ada itu namanya pertanggungjawaban Polis Diraja Malaysia yang telah melanggar kedaulatan RI.

Diplomasi eksistensi

Eksistensi di lapangan. Inilah nama permainannya sekarang yang ironisnya justru tak mendapat prioritas di Indonesia. Bahwa segala persoalan perbatasan selalu berangkat dari kejadian di lapangan.

Dan, untuk perairan Kepri yang berbatasan langsung dengan wilayah Singapura, Malaysia, dan Vietnam, permainan itu semakin sengit. Sebagaimana pernah dikemukakan Wakil Asisten Perencanaan dan Anggaran KSAL Laksamana Pertama SM Darojatim saat menjabat sebagai Komandan Pangkalan Utama TNI AL IV, perairan Kepri adalah wilayah yang rawan pelanggaran batas negara dan pencurian ikan.

Saat ini saja Stasiun PSDKP Pontianak menahan 204 nelayan asing pencuri ikan di perairan Indonesia, mulai perairan Kepulauan Riau sampai Kalimantan Barat. Mereka, antara lain, berasal dari Vietnam dan Kamboja. Proses hukum terhadap nelayan tersebut sudah selesai, tinggal menunggu deportasi saja. Itu baru yang tertangkap. Nah, yang tidak tertangkap?

Di perairan Kepri juga terdapat alur internasional yang menjadi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Strategis, jelas. Apalagi kalau isu deposit minyak bumi dan gas bumi ikut dimasukkan, tentu akan menjadikan permainan tidak saja sengit, tetapi juga semakin seksi.

Darojatim pernah mengatakan, sarana dan prasarana pengamanan laut memang belum bisa dikatakan memadai. Namun, hal itu, menurut dia, tidak boleh menjadi hambatan atau penghalang tugas tentara.

Hal senada dikemukakan petugas pengawas Satker PSDKP Batam, Seivo Grevo Wewengkang, satu dari tiga orang yang ditahan Polis Diraja Malaysia dalam insiden Tanjung Berakit. Menurut dia, sarana dan prasarana patroli pengawasan kelautan dan perikanan masih belum memadai, di antaranya belum dilengkapinya kapal patroli dengan radar dan visual monitoring system (VMS).

”Jika ada VMS, ke mana posisi kapal patroli bergerak bisa dipantau dari Jakarta,” kata Seivo.

Direktur Jenderal PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Aji Sularso menyatakan, pengawasan oleh KKP baru mencapai 25 persen dari total kebutuhan ideal yang mensyaratkan sarana dan prasarana serta jumlah personel di seluruh wilayah kedaulatan RI. Angka itu diperoleh berdasarkan perhitungan probabilitas intensitas ancaman pencurian ikan, baik di zona ekonomi eksklusif (ZEE) maupun di teritorial RI.

Guna mencapai pengawasan ideal 100 persen, KKP telah menyusun rencana strategis penambahan sarana dan prasarana, seperti kapal patroli, alat pemantauan, dan dermaga pangkalan. Namun, karena keterbatasan alokasi anggaran, pemenuhan sarana dan prasarana diprioritaskan untuk daerah perbatasan dan daerah yang banyak terjadi pencurian ikan, seperti di laut Natuna, Sulawesi Selatan, dan Arafura. Pada tahun ini, sektor pengawasan mendapat alokasi 8 persen dari total anggaran KKP.

”Setiap tahun terjadi peningkatan anggaran, tapi kan tidak signifikan. Dan, pengawasan itu merupakan bagian dari pembangunan kelautan dan perikanan secara umum. Jadi, tidak berdiri sendiri,” kata Aji.

Retorikanya, bagaimana mau eksis kalau sarana dan prasarana untuk mengeksiskan diri sangat terbatas? Bagaimana mau patroli kalau dana BBM tak sebanding dengan areal yang diawasi? Bagaimana mau memantau real time kalau peralatan saja sudah uzur? Bagaimana mau ditakuti kalau yang dibawa hanya peluit? Bagaimana mau eksis kalau hanya jadi penonton?

Dan, itulah harga yang selama ini dibayar Indonesia untuk berdaulat atas wilayahnya. Akibatnya? Tak usah jauh-jauh, insiden Tanjung Berakit. Indonesia kemalingan ikan sekaligus kecolongan kedaulatan dalam 86 jam menjelang peringatan detik-detik proklamasi ke-65 RI.

Diplomasi antarnegara tidak bisa berjalan sendiri di meja bilateral elite dengan atribusi table manners-nya. Diplomasi adalah juga pasar induk tempat tawar-menawar kepentingan. Sebelum masuk ke pasar, diplomat perlu membawa bekal agar tidak hanya bertangan kosong dan dikatakan omong kosong.

Nonsens, diplomasi berbusa-busa tanpa eksis terlebih dahulu di lapangan. (Laksana Agung Saputra)

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar