Menlu Marty Natalegawa (kanan) didampingi Menkopolhukam Djoko Suyanto memberikan keterangan pers seputar perkembangan terakhir perseteruan RI-Malaysia di Jakarta, Jumat (27/8). Pemerintah lebih memprioritaskan penyelesaian sengketa RI dengan Malaysia melalui jalur perundingan mengenai perbatasan yang akan digelar di Kinabalu Malaysia pada 6 September 2010. (Foto: ANTARA/Andika Wahyu/hp/10)
29 Agustus 2010, Jakarta -- TNI menyatakan kesiapannya menjaga kedaulatan negara,integritas,dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta menjaga keselamatan bangsa.
Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso menegaskan,anggota TNI selalu dalam keadaan siap perang setiap saat karena sudah menjadi tugas pokok dari tentara. “Salah satu prioritas utama TNI adalah menjaga integritas Tanah Air dan keselamatan negara. Karena itu TNI selalu siap untuk setiap tugas penyelamatan negara,” ujar Panglima TNI saat melakukan kunjungan kerja ke Jambi kemarin.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu menandaskan,TNI adalah alat pertahanan yang tidak bisa melepaskan diri dari keputusan politik. Karena itu TNI akan bertindak sesuai dengan aturan dan putusan otoritas politik. Dia juga menegaskan, keutuhan NKRI adalah harga mati bagi setiap masyarakat Indonesia. ”Apalagi TNI bertugas sebagai penjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa dan negara,”katanya.
Pernyataan Panglima TNI merespons hubungan Indonesia- Malaysia yang kian panas. Dia menggariskan bahwa langkah yang akan diambil TNI menunggu hasil perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang akan digelar 6 September 2010. Seperti diketahui, Indonesia berniat mempercepat pembahasan batas maritim antara Indonesia dan Malaysia untuk menghindari perbedaan pendapat antarkedua negara.
Sebelumnya Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menegaskan bahwa kekuatan militer dan nonmiliter Indonesia siap menghadapi berbagai ancaman, terutama dari Malaysia.Kesiapan meliputi kekuatan darat, laut, dan udara. Menurut dia, Indonesia memiliki batalion tempur yang banyak, terutama TNI Angkatan Darat,dan andal yang siap digerakkan setiap saat.
Namun,Menkopolhukam Djoko Suyanto telah menegaskan bahwa ide konfrontasi dengan perang ataupun menarik duta besar tidak akan menyelesaikan permasalahan. Apalagi,kedua negara memiliki ketergantungan satu sama lain. Pengamat pertahanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riefqi Muna mengatakan, dalam hubungan Indonesia-Malaysia, pemerintah harus menampilkan ketegasan.
Namun ketegasan bukan berarti menampilkan keinginan untuk melakukan konfrontasi. “Ketegasan dan menjadi agresif tentu berbeda,”ujarnya. Ketegasan dalam menyelesaikan persoalan dengan Malaysia perlu didukung dengan kapasitas beserta data-data yang memadai dalam mengadakan hubungan diplomasi antarkedua negara.Alumnus Cranfield University (Royal Military College of Science) UK Defence Academy itu juga mengingatkan bahwa Indonesia kurang bijak jika menampilkan sisi konfrontasi.
Dalam pandangannya, ada persoalan strategis dan taktis dalam persoalan militer yang harus diperhitungkan, khususnya perlengkapan militer Indonesia yang kurang menguntungkan.“Meskipun dari sisi kapabilitas personel kemungkinan Indonesia lebih unggul, dari sisi teknologi peralatan kekuatan udara masih jauh. Kekuatan laut Malaysia lebih unggul,”ujarnya.
Pengamat hubungan internasional dari President University Bantarto Bandoro mengatakan, kedua negara seharusnya dapat menghormati norma-norma antarnegara yang bertengga dengan tidak melakukan upaya-upaya agresif di perbatasan yang terkesan memprovokasi satu sama lain. Menurut dia, Indonesia harus berani mendesak Pemerintah Malaysia agar menekan tindakantindakan agresif yang sering dilakukan aparat Malaysia di laut.
Selain itu, lanjut peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) itu,kedua negara harus kembali melihat dan melaksanakan rekomendasi kelompok pakar (eminent persons group) Indonesia- Malaysia yang dibentuk oleh Presiden RI dan PM Malaysia pada 7 Juli 2008 di Kuala Lumpur dalam rangka mempererat persaudaraan dan hubungan kedua negara. Salah satu rumusan menyebutkan upaya penyelesaian persoalan kedua negara bisa dilakukan melalui diplomasi budaya.
Kedua negara perlu meningkatkan kerja sama di bidang kesastraan, tradisi lisan, film,musik,dan media. Menurut Bantarto, berlarutnya masalah ini juga disebabkan andil pemerintah. Hal tersebut terlihat dari tidak tanggapnya Presiden dalam menyikapi aksi-aksi protes. Seharusnya, lanjut dia, Presiden bisa berbicara langsung untuk meyakinkan publik terkait langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah. Sementara itu, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menilai Indonesia tetap sahabat negaranya kendati terjadi gelombang aksi anti-Malaysia di Indonesia.
Dia sendiri menilai tidaklah salah Malaysia memprotes apa yang diistilahkan kantor berita Bernama sebagai “pengotoran” bendera nasional oleh para demonstran di depan Kedubes Malaysia di Jakarta.Menurutnya, para demonstran yang menggelar aksi agresif di Jakarta itu hanyalah kelompok kecil yang dibayar untuk melakukan aksinya.“Kita bisa protes,tapi kita jangan seperti mereka.
Mereka terlalu agresif. Kita tidak bisa melakukan hal demikian,” katanya di Kuala Lumpur. Para pemimpin dan mantan pemimpin Malaysia kini mewacanakan bahwa aksi protes beragam elemen masyarakat Indonesia terhadap insiden 13 Agustus lalu itu dilakukan orang-orang bayaran.PM Malaysia Najib Tun Razak juga menyampaikan tudingan yang sama.
Ia mengatakan, rangkaian aksi demonstrasi di depan kedutaan besarnya di Jakarta dilakukan oleh apa yang disebutnya “para kelompok bayaran”.“Mereka ingin kita marah sehingga kalau ditanggapi,hubungan (kita) dengan Indonesia akan hambar. Kita tidak boleh terjebak dalam permainan mereka,”katanya.
DPR panggil Menkopolhukam
Setelah memanggil Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalagewa, Komisi I DPR ganti akan melakukan hal serupa atas Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto pekan depan.Mereka ingin mendapatkan penjelasan langsung dari Djoko seputar pengamanan di wilayah perbatasan,khususnya di perairan antara Indonesia dan Malaysia.
“Kami ingin mengetahui bagaimana koordinasi antarpenegak hukum dan pengamanan di sekitar perbatasan RI-Malaysia,”ujar anggota Komisi I DPR Evita Nursanti. Anggota Fraksi Partai Golkar Enggartiasto Lukito menilai pertemuan dengan Menkopolhukam sangat penting. Selain untuk mengetahui bagaimana pengamanan di wilayah perbatasan,DPR juga ingin mengetahui proses pelepasan tujuh nelayan Malaysia.
“Ini masalah hukum dan ketegasan,”katanya. Dia juga belum melihat adanya sikap tegas pemerintah terhadap Malaysia meskipun Menlu mengakui telah mengeluarkan sembilan nota protes kepada negeri jiran itu terkait berbagai masalah perbatasan dengan Malaysia hingga Agustus 2010 ini.
SINDO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar