Menko Polhukam Djoko Suyanto (tengah) memberi keterangan pada wartawan didampingi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa (kiri) dan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Fadel Muhammad usai rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Polhukam, Jakarta, Senin (24/8). Rapat tersebut membahas sejumlah kasus terbaru antara Indonesia dan Malaysia yaitu mengenai penangkapan pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia oleh Polisi Malaysia. (Foto: ANTARA/Rosa Panggabean/Koz/hp/10)
23 Agustus 2010, Jakarta -- Koalisi untuk Kedaulatan Indonesia menilai, pernyataan Presiden yang mengatakan Insiden Indonesia - Malaysia di Bintan adalah peristiwa biasa dan tidak terkait dengan kedaulatan merupakan indikasi kurang memahami Konvensi Hukum Laut Internasional. Tak heran jika menganggap remeh kasus tersebut.
Menurut Juru Bicara Koalisi untuk Kedaulatan Indonesia, M. Riza Damanik, pernyataan itu mencederai rasa keadilan dari nelayan-nelayan Indonesia yang ditangkap tanpa perlindungan. Selain itu negara seakan-akan memberi kemudahan kepada para pencuri ikan dengan melepaskan begitu saja ketujuh nelayan tersebut. “Pernyataan itu juga memperlihatkan bahwa pemerintah kita belum cermat memahami masalah itu dan urgensinya seperti apa,” ujarnya saat dihubungi, Senin (23/8).
Padahal, lanjut Riza, pemerintah tidak seharusnya menganggap remeh hal tersebut. Jika mengacu pada kasus lepasnya Sipadan dan Ligitan dari Indonesia ke Malaysia juga dimulai dari insiden-insiden serupa. Dimana pemerintah terlambat bereaksi karena menganggap remeh manuver-manuver yang dilakukan pemerintah Malaysia. “Sampai akhirnya mereka menyerahkan bukti-bukti pengelolaan Sipadan dan Ligitan. Lalu oleh Mahkamah Internasional diputuskan Malaysia yang berhak atas wilayah itu.”
Tanpa adanya kecaman dari Presiden terkait insiden itu, Riza berpendapat, seakan-akan klaim Malaysia dibenarkan oleh pemerintah. Di mana Malaysia mengklain bahwa insiden itu terjadi di wilayah mereka, karena itulah instrumen hukum Malaysia berjalan di situ dengan membawa tiga orang petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan ke Johor Baru. “Kalau mereka melakukan instrumen hukum di wilayah itu, bisa jadi itu kemudian akan menjadi alat bukti bahwa Malaysia mengelola wilayah itu. Ke depannya bukan tidak mungkin kejadian Sipadan Ligitan berulang,” tutur Riza.
Pernyataan itu, menurut Riza semakin meyakinkan Koalisi untuk Kedaulatan Indonesia untuk tidak banyak berharap dari kepemimpinan Presiden SBY bisa menyelesaikan soal perbatasan. Karena itulah Koalisi akan mendorong DPR menggunakan hak interpelasinya untuk mengambil sikap. “Untuk mencegah terjadinya kerugian rakyat Indonesia yang lebih besar lagi,” tambahnya.
Presiden: ini era kerja sama, bukan konfrontasi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan penyelesaian masalah dengan Malaysia harus dilakukan dengan diplomasi yang baik.
"Jangan kita memiliki budaya yang sedikit-sedikit putuskan hubungan diplomatik, sedikit-sedikit perang," katanya dalam rapat kabinet paripurna di Kantor Presiden, Senin (23/08).
Gesekan dengan Malaysia terjadi ketika tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan ditangkap kepolisian Malaysia. Penangkapan ini menuai protes keras di dalam negeri.
Presiden mengatakan, banyak sumber-sumber politik yang bisa digunakan secara damai. Sebab, kata Presiden, "Era sekarang ini era kerjasama, bukan era konfrontasi."
Selain itu ia juga meminta menteri terkait, yaitu Menteri Luar Negeri, menjelaskan kepada publik masalah ini sehigga berita menjadi tidak simpang siur. Presiden meminta eristiwa mesti menjadi pemicu agar perbatasan dengan Malaysia kembali dibahas.
Selama ini, kata Presiden, pembahasan perbatasan tertunda karena Malaysia masih menyelesaikan sengketa perbatasan mereka dengan Singapura. "Saya pikir tidak harus menunggu, bisa dimulai sekarang," katanya.
Selain itu, Presiden melanjutkan, perlu ada aturan main dalam kasus overlaping klaim perbatasan. Agar kasus serupa tidak terulang.
TEMPO Interaktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar