Sabtu, 28 Agustus 2010

Badai Semalam yang Bikin Porak Poranda

Kadet dan semua awak KRI Dewaruci memberikan salam perpisahan, Senin (23/8), saat meninggalkan Amsterdam, Belanda. Suasana haru menyelimuti perpisahan Dewaruci dengan sahabat-sahabatnya dari sejumlah negara yang hadir dalam Sail Amsterdam 2010. (Foto: KOMPAS/C Wahyu Haryo PS)

28 Agustus 2010 -- Pelayaran dari Amsterdam, Belanda, ke Bremerhaven, Jerman, sejauh 240 mil memang hanya membutuhkan waktu dua hari (Senin-Selasa, 23-24/8). Namun, pelayaran yang relatif singkat itu pasti tidak akan terlupakan bagi semua awak KRI Dewaruci. Dalam pelayaran itulah kami mengalami badai terbesar dalam sejarah perjalanan KRI Dewaruci sepanjang tahun 2010.

Hujan yang turun sejak Senin pagi seolah menangisi kepergian KRI Dewaruci saat meninggalkan Amsterdam. Sejumlah sahabat KRI Dewaruci dari sejumlah negara yang telanjur jatuh cinta dengan KRI Dewaruci juga menangis, enggan melepas kepergian kapal kesayangannya.

Duta Besar RI untuk Belanda JE Habibie beserta staf dan Gubernur Akademi Angkatan Laut Laksamana Muda Hari Bowo berada di antara sahabat yang melepas KRI Dewaruci di dermaga Noord, Amsterdam. Mereka melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.

Yah, apa boleh buat. The show must go on, pelayaran harus tetap berlanjut. KRI Dewaruci pun membalas lambaian tangan mereka dengan salam penghormatan kebanggaannya selama ini, yakni dengan formasi parade roll. Puluhan taruna berdiri di tiang layar, diiringi musik drum band yang mengalunkan lagu ”Old Shine”.

Melambaikan tangan

Hampir di sepanjang perjalanan menyusuri kanal Het Ij sejauh 10 mil menuju laut lepas, warga juga melambaikan tangan menandai kepergian KRI Dewaruci. Kapal-kapal yang kami lewati membunyikan sirene panjang sebagai salam perpisahan bagi KRI Dewaruci. Bahkan, saat kami melewati markas Angkatan Laut Belanda dan memberikan penghormatan, mereka balas memberikan penghormatan dengan tembakan salvo. Sebuah salam penghormatan yang hampir tidak diberikan kepada kapal-kapal lain.

Waktu menunjukkan pukul 16.00, KRI Dewaruci baru saja meninggalkan muara menuju laut lepas. Angin bertiup cukup kencang, 20-40 knot. Badai besar terjadi di perairan Inggris dan diperkirakan dampaknya mencapai di perairan Belanda. Komandan KRI Dewaruci Letnan Kolonel (Pelaut) Suharto memutuskan menunda pelayaran selama dua jam hingga angin sedikit mereda. Sejumlah kapal peserta Sail Amsterdam 2010 yang meninggalkan Amsterdam tampak juga menunda pelayaran.

Sekitar pukul 18.00, KRI Dewaruci kembali melanjutkan pelayaran meski angin masih tetap bertiup kencang. Empasan ombak setinggi 3-5 meter terus menghantam haluan dan lambung kapal. Alunan ombak begitu terasa menggoyang kapal bak gempa bumi yang tak berkesudahan. Hal itu membuat sebagian penumpang mabuk laut atau mengalami sea sick.

Kontributor TV One dan majalah Gatra di Jerman, Miranti; koresponden Rakyat Merdeka, A Supardi Adiwidjaya (69); dan Sekretaris III Penerangan Sosial Budaya Kedutaan Besar RI di Brussels Punjul Setya Nugraha (34) tak kuasa menahan diri untuk tidak memuntahkan seluruh isi perut. Miranti sampai terbaring lemah tak berdaya di sofa di ruang jamuan perwira. Demikian juga dengan Punjul yang berbaring memeluk boneka Tony Bear. Supardi malah sempat jatuh terduduk di kursi saat kapal berguncang keras.

Saya, yang baru kali pertama berlayar, lebih dari sepuluh kali bolak-balik ke kamar mandi untuk muntah di kloset. Sampai-sampai badan serasa lemas dan kepala serasa berputar dipermainkan alunan ombak.

Di antara tamu yang on board di KRI Dewaruci, hanya kawan saya, Klaus Neumann (56), konsultan teknik kapal dan jurnalis lepas asal Jerman, yang segar bugar dan tidak terpengaruh gelombang laut. Sepanjang perjumpaan saya dengan Klaus sejak 19 Agustus lalu, dia memang banyak mengarungi lautan dengan beragam kapal layar. Sudah 50 negara dia kunjungi. Wajar jika dia bertahan karena sudah banyak pengalaman melaut.

”Are you still alive?” tanyanya disusul gelak tawa saat melihat raut wajah saya yang pucat dan berjalan sempoyongan. ”Off course,” jawab saya. Dalam hati saya berkata, dia tidak tahu apa saya sudah ”teler” hingga tidak bisa lagi berjalan lurus.

Dengan badan masih limbung, saya nekat berjalan dan mengambil gambar video ke sudut-sudut ruangan yang porak poranda. Di ruang tamu utama atau saloon, saya jumpai plakat yang sebelumnya tersusun rapi hampir semua berserakan. Di ruang makan perwira, kursi-kursi dan dokumen juga berserakan. Barang-barang di koridor dek juga berhamburan.

Pintu anjungan sebelah kanan terlepas dari engselnya karena diterpa angin kencang. Beruntung pintu masih bisa diselamatkan sehingga tidak terlempar ditelan ombak.

Terpaan badai kian memuncak sekitar pukul 22.00. Angin bertiup dari arah barat daya dengan kecepatan hingga 50 knot. Dari anjungan saya melihat haluan kapal miring hingga belasan derajat. Di bawah cahaya rembulan yang temaram, tepatnya di perairan Den Helder, laut terus bergolak bak murka.

Kondisi ini mengingatkan pada kisah pewayangan, di mana Bima, salah seorang dari Pandawa Lima, tengah bertarung hebat hingga ke dasar laut melawan Naga Raksasa selama berhari-hari. Saat itu Bima tengah mengemban tugas dari Dorna, gurunya, untuk mencari Tirta Amerta atau Air Kehidupan.

Kelelahan

Di tengah kelelahan melawan Naga Raksasa itulah Bima bertemu Dewaruci, yang tak lain adalah Sang Hyang Wenang yang menjelma menjadi sosok kebenaran, kejujuran, dan kebenaran. Sang Hyang Wenang merupakan dewa yang paling tinggi tingkatannya dalam kisah pewayangan. Pertemuan dengan Dewaruci mengobarkan semangat Bima sehingga ia berhasil mengalahkan Naga Raksasa itu.

Kembali ke kapal, saya lihat kondisinya makin kacau karena air masuk ke dek bawah dan menggenang hingga setinggi lutut. Bel kapal lantas dibunyikan bertalu-talu dan dari pengeras suara terdengar peringatan, ”Peranan kebocoran! Peranan kebocoran! Peranan kebocoran!”

Kepanikan memuncak saat awak kapal yang mengoperasikan mesin untuk memompa air keluar tidak mampu mengimbangi derasnya debit air yang masuk. Diperkirakan saat itu gelombang air mencapai hampir 7 meter dan air masuk dari sela-sela jendela.

Komandan KRI Dewaruci, Suharto, langsung turun ke dek. Melihat kondisi genangan air di kapal tak kunjung surut, ia memerintahkan supaya barang-barang yang berpotensi menyumbat saluran pembuangan dibuang ke laut.

Kepala Divisi Layar Letnan Satu (Pelaut) Chusnul Hidayat dengan nada tinggi memerintahkan semua kadet keluar dan menguras air yang menggenang dengan menggunakan ember. Sampah-sampah dibuang ke laut. Bahkan, barang yang bukan sampah, seperti sepatu, jeriken minyak, dan kardus berisi baju, pun ikut dibuang.

Di tengah situasi kacau itu, ada kisah lucu yang dilakoni perwira pengamanan Kapten Laut Didik Siswinardi. Saat itu dengan sigap ia menyortir mana barang yang harus dibuang karena berpotensi menyumbat saluran air dan barang mana yang harus disimpan.

Saat menemukan sepatu atau kardus berisi baju, entah kepunyaan siapa, ia memberikan kepada awak lain yang berdiri estafet sambil memerintahkan, ”Buang!” Begitu pula saat mendapati sejumlah jeriken air, ia tak ragu bilang, ”Buang!” Namun, ketika mendapati sejumlah botol anggur, spontan ia berkata, ”Simpan!”

Kekacauan saat badai sedikit terkendali ketika komandan memerintahkan kapal berbalik haluan untuk melakukan pelayaran tak jauh dari pantai. Kecepatan kapal juga dikurangi hingga di bawah 10 knot.

Butuh waktu seharian untuk sampai ke pelabuhan di Bremerhaven. Selama sehari itu pula perasaan mual dan puyeng masih bergelayut. Namun, semua perasaan itu sirna ketika kapal sandar di pelabuhan Bremerhaven, Rabu (25/8) pukul 02.00, terlambat 12 jam. Namun, Dewaruci memang luarrr biasaa! (C Wahyu Haryo PS, dari Bremerhaven, Jerman)

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar