(Oleh: H. Usep Romli HM, Pikiran Rakyat)
Suatu hari, Abdullah, putra Umar bin Khattab, membeli seekor unta kecil dan kurus seharga empat dirham. Lalu unta kecil nan kurus itu oleh Abdullah dibawa ke tempat pemeliharaan unta milik Negara, tempat sang ayah menjabat sebagai khalifah saat itu.
Ia menitipkan untanya disana, agar dapat diurus bersama unta-unta lainnya. Sebagai anak khalifah tentu saja pengurus peternakan unta menerima titipan unta Abdullah tanpa banyak pertanyaan.
Setahun kemudian, unta milik Abdullah yang asalnya kecil dan sangat kurus berubah menjadi gemuk dan sehat. Segera saja Abdullah berniat untuk menjual unta tersebut.
Dia membawa unta tersebut ke pasar dan ditawarkan seharga lima belas dirham. Orang-orang di pasar banyak berkerumun dan tampaknya berminat membeli unta gemuk dan sehat tersebut.
Selain tertarik oleh unta yang memang secara menampilan bagus, para calon membeli juga tertarik oleh penjualnya yang tidak lain adalah putra amirulmukminin.
Tiba-tiba datang khalifah Umar ke tengah pasar. Melihat kerumunan orang. Ia menuju ke arah sana seraya bertanya apa yang terjadi. “kami sedang berebut menawar harga unta”, jawab seseorang di pasar tersebut.
“Unta kepunyaan siapa?” Tanya Umar bin Khattab.
“Kepunyaan Abdullah putra Anda, Wahai amirulmukminin!” jawab orang tersebut.
Abdullah dipanggil mendekat. Umar berkata dengan nada keras, “aku tahu, kamu membeli unta kurus dan kecil. Aku tahu pula, untamu menjadi gemuk dan besar karena diurus di peternakan unta milik Negara. Pasti unta ini akan terjual mahal karena memang bagus. Akan tetapi, status kamu sebagai anakku, ikut menaikkan harga unta ini. Maka aku harus melakukan tindakan keras agar hal tersebut tidak terulang kembali”.
Mendengar sang ayah yang berbicara keras seketika Abdullah ketekutan. “Saya mendengar dan taat kepada ayahku yang kebetulan menjadi memimpin umat Islam sekarang,” jawab Abdullah.
“Ambil harga pembelian untamu dulu sebesar empat dirham. Selebihnya, serahkan kebaitul maal, karena engkau telah memelihara unta secara gratis. Engkau menggunakan fasilitas pemerintah untuk kepentingan pribadimu. Orang-orang dipeternakan tak berani menolak, karena engkau anakku. Kalau engkau bukan anak amirulmukminin, para petugas tak mungkin mau menerima titipan uta kurus untuk dipelihara disana,” kata Umar.
Betapa mulianya akhlak Khalifah Umar bin Khattab. Beliau tidak pernah mau mencampuradukan urusan harta pemerintah dengan urusan pribadinya. Adakah kita bisa mencontohnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar