Nelayan Malaysia yang ditahan, karena mencuri ikan diperairan Indonesia, kemudian dilepas setelah dibarter dengan 3 petugas DKP yang disandera oleh kepolisian Malaysia. (Foto: Tribunnews)
17 Agustus 2010, Jakarta -- Untuk kesekian kalinya Indonesia menyampaikan protes atas sikap arogan Malaysia, yang menahan tiga aparat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Meski hanya sebatas statement tak resmi. Padahal, yang ditangkap Malaysia adalah aparat negara, yang sedang bertugas menjalankan amanah negara pula. Sementara, polisi Indonsia menangkap maling Malaysia, yang sedang bertindak kriminal. Maling ikan di laut. Indonesia.Tetapi mengapa Indonesia seperti tidak berdaya? Apakah ini bukan upaya menginjak-injak kedaulatan? Mengapa Indonesia begitu ragu?
Sejuta pertanyaan itu sekarang harus diredam., pada peringatan 65 tahun Indonesia merdeka ini, Pejabat dan aparat sibuk berseremonial, seolah ingin mempertontonkan nasionalisme. Tetapi bagaimana kita menyikapi penangkapan tiga aparat DKP oleh polisi Malaysia? Bagaimana kita menyikapi simbol negara diinjak-injak oleh negara tetangga? Banyak ormas yang menghujat ketika ada LSM atau mahasiswa menginjak-injak foto pejabat , yang juga selalu diidentikkan sebagai simbol negara. Ironisnya, tak satupun ormas yang berteriak ketika aparat DKP yang sedang bertugas menjalankan perintah negara ditangkap polisi negara tetangga.
Para nelayan Malaysia sudah mengakui, mereka tidak tahu kalau sudah memasuki wilayah perairan Indonesia. Karena mereka tidak membawa peralatan GPS. Pertanyaannya, mengapa mereka tidak membawa peralatan GPS itu? Padahal, itu merupakan bagian dari peralatan vital mereka. Bisa jadi ini bagian dari modus mereka. Bisa jadi mereka menyadari, betapa lemahnya ( toleran ?) aparat Indonesia sehingga mereka menganggap semuanya bisa diatur. Tetapi apa jadinya, kalau aparat negara kemudian harus dibarter dengan maling?
Menteri luar negera Marty Natalegawa tidak berbeda jauh dengan menteri luar negeri sebelumnya. Selalu bersikap lembut jika harus berhadapan dengan Malaysia. Ada apa? Alasannya, mereka selalu mengatakan perbatasan itu masih diperdebatkan. Tetapi mengapa, di perbatasan yang belum jelas kok Malaysia bisa menangkap aparat negara, sedangkan kita hanya bisa menangkap malingnya? "Nota protes tidak bisa hanya menyampaikan bahwa kita tidak suka. Kita harus jelaskan bahwa pada tanggal sekian telah terjadi insiden, di koordinat sekian. Karena itu selama-lamanya akan dijadikan referensi bagi Indonesia dalam perundingan dengan Malaysia di masa mendatang," kata Marty.
Meski demikian, kata Menlu, Indonesia telah menyampaikan keprihatinan dan protes secara langsung. "Sudah saya sampaikan secara langsung tanpa menunggu nota. Nota diplomatik tetap akan dikirim, tapi belum disampaikan," ujar dia.
Kasus penahanan tiga aparat DKP adalah buntut dari belum selesainya perundingan perbatasan laut antara Indonesia dan Malaysia. Marty mengatakan, Indonesia siap merundingkan kembali soal batas laut itu. Namun, Malaysia belum siap. Malaysia berdalih akan menyelesaikan lebih dulu perundingan perbatasan dengan Singapura. "Faktanya, antara Indonesia dan Malaysia belum ada persetujuan tentang batas laut di wilayah terkait. Ada versi Malaysia dan Indonesia," katanya.
Sebagaimana diberitakan, penangkapan tiga petugas DKP Kepulauan Riau (Kepri) yang sedang berpatroli di perbatasan laut oleh Pasukan Gerak Marin atau Marine Police Malaysia (MPM) berbuntut. Kemenlu serta Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia melakukan protes keras kepada pemerintah Malaysia.
Indonesia menilai penangkapan itu tidak relevan. Sebab, para petugas DKP itu ditodong senjata dan disandera oleh patroli kesatuan di bawah Polis Diraja Malaysia (PDRM) tersebut saat mengamankan tujuh nelayan Malaysia yang mencuri ikan dan menerobos batas laut Indonesia.
JPPN.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar