Rabu, 01 Desember 2010

Kementerian Pertahanan Buka Pintu untuk Pengawasan KPK

Wakil Menteri Pertahanan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin (kiri) dan Irjen Kementerian Pertahanan (Kemhan) Laksamana Madya Gunadi menyimak paparan tentang Perencanaan Penganggaran Kemhan, di Jakarta Selasa (1/12). Pemerintah berencana membeli enam pesawat tempur F-16 baru. (Foto: Koran Jakarta)

02 November 2010, Jakarta -- Kementerian Pertahanan mempersilahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengawasi pengadaan barang dan jasa di kementerian tersebut.

Hal itu sejalan dengan permintaan Presiden SBY, agar KPK fokus pada pemberantasan korupsi yang menghambat pertumbuhan ekonomi, dimana pengadaan barang dan jasa termasuk salah satu diantaranya.

"Kita membuka diri bagaimana KPK ingin mengetahui mekanisme dari proses pengadaan barang dan jasa. Komunikasi dengan KPK selama ini juga sudah ada," tutur Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoedin di Jakarta, Rabu (1/12).

Ia menjelaskan lebih lanjut, KPK bisa menjalankan tugasnya melalui dua cara. Pertama, jika KPK mendapatkan informasi tertentu, pihaknya membuka diri jika KPK ingin melakukan pendalaman. "Atau jika pengawas internal menemukan kejanggalan, kemudian perlu ditindaklanjuti lebih dalam karena pengawas internal kita tidak punya kewenangan penyelidikan dan penyidikan, maka bisa dikomunikasikan ke KPK," papar Sjafrie.

Arahan dari Presiden, kata dia, menjadi dorongan bagi Kementerian Pertahanan untuk bekerja lebih teliti dan akuntabel. Apalagi, anggaran untuk Kemhan sendiri bertambah.

"Ini warning untuk optimalisasi. Kenapa Presiden mengatakan itu, karena anggaran pertahanan meningkat. Keinginan beliau jika anggaran meningkat maka penggunaannya tepat dari mekanisme pengadaan," ujarnya.

Menurut KPK, langkah paling efektif untuk mencegah korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa adalah dengan pengadaan secara elektronik. Namun di Kemhan, kata Sjafrie, tidak semua pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan secara elektronik.

"Yang bisa dilakukan elektronik itu pengadaan barang dan jasa yang umum. Tapi kalau untuk alutsista (alat utama sistem persenjataan) belum bisa. Karena memiliki spesifikasi untuk kepentingan pertahanan negara," paparnya.

Jika dilakukan secara elektronik, sambung dia, pengadaan alutsista tidak bisa menjamin aspek spesifikasi teknis peralatan militer tersebut. "Kita sudah pernah ada contoh. Pada 2007 waktu itu kita ajukan. Ternyata bukan pabrikan tapi broker. Waktu kita undang, mana komponen profilnya? Mereka tidak bisa menunjukkan. Ini satu contoh bahwa kita masih harus melakukan evaluasi electronic procurement untuk alutsista, tapi kalau barang umum sudah kita lakukan."

Meski demikian, proses pengadaannya tetap dilakukan secara transparan dan akuntabel. "Tetap bisa melakukan metode pelelangan umum melalui Koran dan sebagainya. Tapi begitu sudah mendaftar harus terbuka, face to face pengecekan teknis dan pengecekan administrasi. Harus secara langsung untuk menjamin terjawabnya kualifikasi teknis dan administrasi," jelasnya.

Pencairan Tunjangan Perbatasan Terhambat

Pencairan tunjangan khusus TNI-PNS di wilayah perbatasan terhambat, karena sebagian komandan utama (kotama) dan satuan kerja (satker) belum menyerahkan surat perintah pencairan tunjangan khusus tersebut ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Padahal, tenggat waktu pembayaran tunjangan adalah Desember 2010.

"(Anggarannya) sudah turun. Tapi tidak sampai ke orangnya langsung, tapi tergantung panglimanya. Karena saya dengar masih ada panglima yang belum menurunkan surat perintahnya," tutur Dirjen Rencana Pertahanan Kementerian Pertahanan Marsda TNI Bonggas S Silaen di Jakarta, Rabu (1/12).

Tunjangan khusus tersebut dihitung sejak bulan Januari 2010, hal ini berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 tahun 2010 yang diterbitkan pada 19 Juli 2010. Perpres itu kemudian diteruskan dengan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 10 tahun 2010 dan peraturan Dirjen Renhan Kementerian Pertahanan Nomor 12 tahun 2010. Untuk mendorong para kotama/satker menyegerakan surat perintah pencairan, Kemhan kemudian mengeluarkan surat telegram.

"Karena dana sudah di KPPN masing-masing daerah. Tinggal komandannya bikin surat perintah, nanti akan langsung dibayar oleh KPPN. Tidak pakai nunggu sebulan," jelasnya.

MI.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar