Pusat Kerajaan Sumedanglarang ditetapkan di Kutamaya yang terletak di kawasan Sumedanglarang. Istana Kerajaan dibangun dari bahan baku serba kayu, menggunakan arsitek model Sunda dengan menghadap ke alun-alun Mayadatar. Simbol cita-cita Ratu Pucuk Umun dinukilkan dalam monument Kuta yang dibuat dari tanah dalam bentuk bulat dan membujur ke arah langit.
Kehadiran Pangeran Santri menjadi pendamping Ratu Pucuk Umun mendorong terhadap perkembangan kerajaan. Sentuhan-sentuhan Islam mulai berdenyut bahkan secara bertahap Islam berkembang dikalangan keluarga raja. Kemudian Pangeran Santri yang memusatkan perhatian kepada gerakan syiar Islam mendirikan sarana ibadah di lingkungan keraton. Secara berangsur-angsur dapat memperkuat keyakinan agama dikalangan keluarga raja.
Selain itu pengaruh Pangeran Santri mendorong terhadap hubungan Sumedanglarang dengan Cirebon baik dalam segi hubungan keagamaan, sosial politik dan ekonomi, termasuk hubungan seni budaya. Pendekatan seni budaya telah menunjukkan munculnya kegiatan seni yang bernafaskan Islam.seperti seni rebana, terebang yang dikenal oleh masyarakat pada saat itu seni sholawat. Demikian juga dalam upacara-upacara ritual tak lepas dari nuansa keislaman bahkan tradisi upacara pengantin diwarnai oleh khataman, yaitu seni membaca Al-Qur’an dilakukan secara bergantian dan serempak, disajikan setelah peresmian pernikahan.
Sentuhan seni budaya Cirebon tampak dalam arsitek sarana ibadah, lukisan dinding, bentuk kendaraan tradisional termasuk bangunan-bangunan pesantren. Sejak itu pulalah rakyat Sumedang mulai mengenal kain batik Cirebon. Perkembangan baca tulis turut memacu perkembangan sosial kemasyarakatan, sehingga babon-babon jenis wawacan sastra lisan disalin kedalam huruf Arab gundul. Perkembangan tersebut membawa Kerajaan Sumedanglarang kedalam percaturan yang lebih luas, sehingga dikenal oleh kalangan raja-raja di pulau Jawa.
Batas wilayah kekuasaan Sumedanglarang meliputi batas barat deretan pegunungan Manglayang yang memisahkan Sumedang Larang dengan Sukapura (Bandung dahulu), batas utara daerah Ujungjaya, batas timur kali Cilutung dan batas selatan deretan Pegunungan Tjakrabuana meliputi daerah Limbangan Garut.
Nyi Mas Ratu Inten Dewata mempunyai putra : (1) Pangeran Angkawijaya, (2) Demang Rangga, (3) Demang Watang, (4) Santoan Tjikeruh. Dari sejak kecil diajari ilmu kepemimpinan dan ajaran Islam. Setelah Pangeran Angkawijaya dewasa, ada tanda-tanda Ratu Pucuk Umun menyerahkan tahta kekuasaannya kepada dia, akan tetapi belum cukup usia.
Menjelang tahun 1578, tersiar berita dari para juru telik sandi yang mengkabarkan bahwa Keraton Pajajaran diserbu pasukan Surasowan Banten yang didukung oleh tentara Islam Cirebon. Tahta Nobat Sriwacana diboyong ke Surasowan Banten. Prabu Siliwangi Ragamulya atau Prabu Suryakencana berada dalam kejaran Pangalima Perang Surasowan bernama Ki Jungju, kemudian bersembunyi di hutan Pulo Sari. Sedangkan Keraton Pajajaran dibakar habis.
Di ujung tahun tersebut, Ratu Pucuk Umun kedatangan empat Kandaga Lante Pajajaran (Umbul), bernama : (1) Prabu Jayaperkasa (Sanghyang Hawu, (2) Dipati Wirajaya, (3) Prabu Pancarbuana, (4) Sanghiyang Kondang Hapa. Ke-empat Kandaga Lante sengaja datang atas perintah Prabu Siliwangi Ragamulya untuk menyampaikan Mahkota Binokasih yang terbuat dari emas murni sebagai lambang kebesaran raja-raja Pajajaran. Penyerahan Mahkota tersebut sebagai tanda bahwa Sumedanglarang adalah penerus Kerajaan Pajajaran. Setelah itu keempat Kandaga Lante menyatakan diri untuk mengabdi (geusan ulun kumawula) kepada Sumedang Larang. Mengangkat Prabu Jayaperkasa sebagai Patih Agung Sumedanglarang, ketiga Kandaga Lante lainnya ditetapkan sebagai pembantu tugas-tugas Jayaperkasa, dengan pangkat Senopati atau Panglima Perang.
Semula Ratu Pucuk Umun ragu-ragu menerima Mahkota itu, oleh karena yang berhak melanjutkan Kerajaan Sumedanglarang adalah Pangeran Angkawijaya, yang saat itu usianya kurang lebih 20 tahun, artinya belum cukup usia untuk diangkat menjadi raja. Aturan kerajaan adalah usia 22 tahun baru memenuhi syarat jadi raja. Untuk mencukupi usia tersebut harus menunggu dua tahun lagi. Selama itu Ratu Pucuk Umun memerintahkan agar Pangeran Angkawijaya berguru ilmu kepemimpinan dan ilmu Islam ke negeri Demak.
Pangeran Angkawijaya yang dikenal taat kepada perintah, meninggalkan Keraton Kutamaya dengan mendapat pengawalan Prabu Jayaperkasa. Perjalanan melintasi jalur selatan pulau Jawa, akhirnya tiba di negeri Demak. Disitulah Pangeran Angkawijaya mendapat bimbingan kepemimpinan dan keulamaan. Disitu pulalah terjadinya pertemuan dengan Ratu Harisbaya, salah satu putrid cantik jelita keturunan Pajang Madura yang sama-sama berguru atau pesantren. Pertemuan pertama melarutkan perasaan yang sedemikian dalam. Sentuhan hati menjalin kasih sayang kedua insan adam itu terhapuskan oleh waktu dan keadaan. Oleh karena Ratu Harisbaya dipanggil ke Madura untuk dinikahkan dengan Panembahan Girilaya Cirebon, yang usianya jauh lebih tua. Mau tidak mau Pangeran Angkawijaya menerima kekcewaan yang demikian berat. Kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya.
Setibanya di Kutamaya, sikap Pangeran Angkawijaya mengusik perasaan ibunya, rupanya ia peka menyimak gelagat yang terjadi pada Pangeran Angkawijaya. Persoalan Harisbaya yang membuat putra mahkota banyak berdiam diri. Kebekuan cinta dan kasih sayang mulai mencair setelah Ratu Inten Dewata sudah menyediakan calon permaisuri putranya, tidak lain adalah Nyi Mas Gedeng Waru. Perkawinan dilaksanakan dan dimeriahkan oleh upacara adapt pengantin Kasumedangan, kedua mempelai di arak diatas Kereta Nagapaksi dan disemarakkan oleh Kesenian Rebana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar