Penggantian ban yang pecah dilakukan di Avron Kelapa Sawit, Pangkalan TNI Angkatan Udata Medan, yang berada di kawasan Bandara Polonia Medan. (Foto: detikFoto/Khairul Ikhwan)
16 Juli 2009, Batam -- Suara gemuruh memekak telinga ketika dua pesawat tempur Hawk buatan Inggris membelah langit Batam, Rabu (15/7). Sayangnya, lima pesawat tempur itu hanya dua trip melakukan penerbangan. Seharusnya, mereka tiga kali terbang dalam satu hari. Setiap terbang bisa menghabiskan waktu dua jam di udara untuk meningkatkan kemampuan profesional, baik perorangan maupun satuan dalam mengaplikasikan dan penerapan doktrin operasi pertahanan udara.
”Cuaca kurang bagus. Ada awan hitam yang tidak bisa kita lalui karena sangat berbahaya. Sehingga kita putuskan untuk berhenti latihan,” kata Mayor Pnb Jajang Setiawan, pilot pesawat tempur Hawk 209, di Hang Nadim, kemarin. Jajang, salah satu dari tujuh pilot yang mengendalikan lima pesawat tempur buru sergap (buser) Hawk 109/209 dari Skuadron Udara 12 Lanud Pekanbaru. Hawk 109/209 dari Skuadron 1 Lanud Supadio sebagai musuh.
Jajang,35, merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) yang sudah mengantongi 1.800 jam terbang. Selama berkarir menjadi pilot pesawat tempur, Jajang mengalami pengalaman yang sulit dia lupakan yakni mendarat darurat pesawat tempur jenis Hawk di Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, 2004 yang lalu. Saat itu, Jajang bersama dengan rekannya tengah menggelar latihan rutin bersama tiga pesawat tempur lainnya. Tiba-tiba sistem hidrolik pesawat tempur itu mengalami kerusakan. Sehingga roda pesawat dan rem tidak bisa berfungsi saat mendarat. ”Akhirnya, saya menghabiskan bahan bakar sebanyak 2.100 liter yang ada di pesawat terbang selama dua jam di udara,” katanya.
Pengosongan bahan bakar itu dilakukan untuk menghindari terjadinya kebakaran. Setelah bahan bakar tersisa sekitar 150 liter, selanjutnya pesawat buatan Inggris tahun 1994 itu dipersilakan mendarat darurat tanpa roda. Ketika mendarat, pesawat tergelincir dengan mengeluarkan api yang disebabkan gesekan badan pesawat ke aspal sepanjang 600 meter. ”Hanya badan pesawat yang lecet,” katanya, seraya mengatakan kecepatan pesawat ketika mendarat sekitar 280 km melaju di landasan.
Saat di udara, Jajang sempat melihat rumahnya di Pekanbaru. ”Di udara saya bertanya dalam hati, apakah saya akan ketemu lagi dengan istri dan anaknya yang baru saja berusia 17 hari,” ujarnya. Jajang mengatakan, mendarat dengan selamat tanpa menggunakan roda merupakan kehendak Allah. Tetapi dibandingkan dengan pesawat umum seperti Boeing, tentu lebih berisiko. Karena bahan bakar pesawat jenis penumpang berada di bawah bodi pesawat. Sedangkan pesawat tempur berada di samping.
Setelah mendarat, dia tidak memberi kabar ke istrinya mengenai peristiwa yang paling mendebarkan dalam sejarah hidupnya. ”Saya takut istri pendarahan karen baru melahirkan kalau dikasi tahu,” kata pilot yang bernah belajar penerbangan di Australia itu. Keluarga Jajang mengetahui berita tersebut melalui koran dan informasi dari tetangga. ”Dia hanya menangis mengetahui kejadian tersebut,” imbuhnya.
Apakah tidak jera dan takut, apalagi melihat banyak pilot tewas karena pesawat sudah tua? Pria yang murah senyum itu mengatakan kalau mati sudah takdir dari Tuhan, di tempat tidur pun bisa mati. Banyak yang mati saat tidur. Bisa saja saat itu terjadi gempa, dan longsor. ”Kita harus percaya takdir yang sudah ditetapkan.”
Selagi pesawat sudah memenuhi unsur kelayakan terbang, lanjut Jajang, pilot harus menerbangkan. Walaupun tahun buatan pesawat sudah tua. Ada indikator yang diperhatikan sebelum terbang. Teman seangkatan Jajang di Sekolah Penerbang sudah dua orang yang menjadi almarhum karena kecelakaan. Yang sangat penting, lanjutnya, pilot harus menguasai sistem peralatan yang ada di pesawat. Dan yang diingat, ego tidak boleh mengalahkan sistem yang sudah diciptakan. ”Kalau sudah darurat, kita serahkan ke Tuhan saja,” imbuhnya.
Semua pilot, jelasnya, bisa mengendarai jenis pesawat tempur. Tetapi, penugasan atasan berdasarkan tes psikologi. Hasil tes, menempatkan Jajang menjadi pilot Hawk. Ia pernah mengemban tugas negara ketika operasi di Aceh. Tujuh pilot yang ikut dalam latihan terbesar TNI AU itu yakni Letkol Pnb Nana Resmana, Kapten Teddy Henbrata, Kapten Harisetiawan, Lettu Fardinal Umar, Lettu Putut Hangrio, dan Lettu Ridho yang lulus 2004. Sedangkan kata Ridho,26, yang sudah memiliki 300 jam terbang, merasa senang bisa mengikuti latihan Perkasa. ”Menambah keahlian kita mas,” ujarnya.
Komandan Pangkalan Udara Tanjungpinang Letkol Pnb Nandang Sukarna, Latihan Perkasa melibatkan 1.100 pasukan yang berada di wilayah Indonesia bagian barat. ”Semua siap dengan tugasnya masing-masing. Mudah- mudahan besok cuaca mendukung untuk latihan puncak,” katanya.
BATAM POS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar