Direktur Eksekutif Institute of Defense and Security Studies Connie Rahakundini Bakrie. (Foto: eastwestcenter.org)
16 November 2009, Jakarta -- Anggaran pertahanan Indonesia semestinya mencapai 14% pendapatan domestik kotor (GDP). Jika tidak sanggup, Indonesia sebaiknya meniru strategi Israel dalam menjaga pertahanan negara.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute of Defense and Security Studies Connie Rahakundini di Jakarta, Senin (16/11). "Kalau hitungan saya, dibandingkan dengan apa yang harus dibeli setiap tahun, yakni AD 1.300 item, AL 88 item, dan AU 76 item. Itu mencapai 14 persen GDP. Itu dengan perhitungan kondisi normal, statis pertumbuhan 5 persen. Nominalnya saya lupa," jelas Connie.
Ia berpendapat jika perhitungan anggaran pertahanan diukur dari patokan ekonomi, ia yakin bahwa Indonesia tidak bisa mengejar ketertinggalan. Bahkan, anggaran pertahanan yang sudah dinaikkan Rp7 triliun juga tak mampu untuk menutup kekurangan dari TNI.
Maka itu, ia menilai Indonesia sudah semestinya mencari teman yang pasti untuk membantu menjaga pertahanan seperti yang dilakukan oleh Israel. "Kalau sebagai negara tidak mampu dan tidak punya teman yang pasti, itu akan menjadi masalah besar. Israel memiliki kepentingan yang sama saat diserang dengan negara tetangganya. Dia sadar ketika tidak memiliki anggaran pertahanan, kemudian dia memutuskan berteman dengan siapa," jelasnya.
Strategi ini, ujar dia, bisa dilaksanakan dengan tidak hanya menjalin pertemanan dengan satu pihak saja. Apalagi, wilayah Indonesia sangat luas. Ia menyarankan agar ada pembagian wilayah tergantung pada siapa yang paling berkepentingan diwilayah tersebut.
"Kita bisa membagi tiga, barat, tengah, timur. Di barat, India dan China berkepentingan sehingga kita bisa berteman dengan mereka. Di bagian tengah adalah China yang telah menanamkan investasi terbesarnya di Makassar. Kemudian, di timur ada kepentingan Amerika dan Australia," jelasnya.
Maka itu, ia menyatakan tak ada pilihan selain untuk memenuhi kebutuhan minimal pertahanan, meski ia mengaku tak percaya perhitungan sepenuhnya. Ia juga menyatakan bahwa semestinya anggaran pertahanan dan ekonomi semestinya berjalan seiring. Ia khawatir jika pemerintah terjebak dalam kesalahan perhitungan pendekatan anggaran.
"Anggaran untuk pendidikan, kesehatan, itu hanya US$40 miliar untuk seluruh dunia. Sementara, itu anggaran pertahanan US$800 miliar di negara demokrasi," tandasnya.
MEDIA INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar