Tiap unit panser buatan PT. PINDAD dari proyek pengadaan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) Departemen Pertahanan ini dihargai hampir Rp 7 miliar. (Foto: detikFoto/Tya Eka Yulianti)
26 November 2009, Jakarta -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani mengatakan anggaran riset atau penelitian di Indonesia untuk mengkaji kemampuan dan kebutuhan pertahanan sangat minim. Selain itu, juga belum terjalin kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga riset baik di Departemen Pertahanan, Departemen Perindustrian, Kemeneg Ristek, Kemeneg BUMN, Bappenas, perguruan tinggi dan lembaga penelitiannya untuk kepentingan kemampuan pertahanan, khususnya mengkaji kebutuhan dan kemampuan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista).
"Minimnya anggaran riset pertahanan, bisa dilihat dari alokasi anggaran riset dalam APBN yang sangat minim," ungkap Jaleswari usai menghadiri penyerahan penghargaan Museum Record Indonesia (MURI) untuk Website Ramadhan Pohan di gedung DPR, Rabu (25/11).
Menurutnya, negara seharusnya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk melakukan riset dan mengkaji hal-hal yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan kemampuan industri pertahanan. Untuk kedepan, Jaleswari berharap ada kerjasama untuk melakukan riset untuk mengetahui kemampuan industri pertahanan dalam negeri.
Untuk melakukan riset bidang pertahanan, menurut dia, tidak bisa hanya diletakkan tanggung jawab kepada Departemen Pertahanan saja. Namun harus ada sinergi antardepartemen termasuk perguruan tinggi untuk mengkaji kemampuan pertahanan. "Kelemahan kita, belum meletakkan industri pertahanan sebagai sesuatu yang penting. Selama ini hanya ada dalam jargon-jargon politik saja, tidak pada implementasi dan komitmen politik disertai dukungan anggaran yang jelas," katanya.
Dia juga mengusulkan agar anggaran pertahanan khususnya anggaran riset pertahanan ditingkatkan. Selama ini anggaran riset pertahanan tidak sampai satu persen dari APBN. Sebagai contoh, kata dia, Dephan mengajukan anggaran pertahanan tahun 2009 Rp127 triliun. Tetapi yang terealisasi hanya Rp33,6 triliun. Dari Rp33,6 triliun itu, 75 persen digunakan untuk anggaran rutin. Sedangkan 25 persennya dialokasikan untuk tiga matra TNI termasuk pembangunan fasilitas, pengadaan Alutsista termasuk anggaran untuk riset pertahanan. "Yang 25 persen itu juga pembagiannya tidak proporsional," tuturnya.
Ia juga meminta para direktur utama BUMN industri pertahanan bersama Menteri Keuangan, Menhan, Menteri BUMN, Menteri Perencanaan/Kepala Bappenas, Menteri Ristek, Menteri Perindustrian dan pihak terkait melakukan pertemuan untuk membahas revitalisasi industri pertahanan. "Ini penting agar ada sinergi dalam merancang kebutuhan negara di bidang industri pertahanan untuk 5-25 tahun kedepan, termasuk merancang program dan anggarannya," katanya.
Terkait belum sinergisnya lembaga riset/litbang bidang pertahanan diantara departemen juga diakui Menteri BUMN, Mustafa Abubakar. "Belum adanya sinergitas litbang alutsista diantara industri pertahanan, lembaga litbang, perguruan tinggi, Dephan dan TNI menjadi permasalahan tersendiri bagi BUMN industri pertahanan dalam mendukung pembuatan alutsista," kata Mustafa Abubakar sata menjadi Keynote Speech pada Seminar Dalam Rangka Revitalisasi Industri Pertahanan di Kantor Dephan, Jakarta, Rabu.
JURNAL NASIONAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar