Kapal patroli katamaran 22 meter milik Kepolisian Queensland. (Foto: austal)
18 Mei 2009, Jakarta -- Pemerintah Australia akan memberikan bantuan kapal patroli kepada Polri dalam rangka mendukung pengamanan pintu-pintu masuk wilayah Indonesia dari imigran gelap. Bantuan tersebut didasarkan atas dasar kesetaraan antara kedua belah pihak. "Prinsipnya itu kita saling membutuhkan," kata Direktur V Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Boy Salamuddin, Minggu, (17/5).
Boy mengatakan, keinginan Autralia memberikan bantuan itu merupakan bentuk kepedulian sekaligus mereka berkepentingan dalam rangka mengantisipasi agar jumlah imigran gelap maupun perdagangan manusia yang masuk kenegaranya. Terkait jumlah kapal yang akan diberikan kepada Polri, Boy belum dapat memastikan. "Itu tergantung Australia," katanya.
Ia hanya menegaskan, Polri butuh kapal yang berkapasitas angkut diatas 50 orang. Dengan kapasitas sebesar itu, selain mampu mengangkut dalam jumlah yang relatif lebih banyak, diyakini kapal tersebut akan mampu menjelajah hingga laut lepas. Tidak seperti kemampuan yang dimiliki saat ini. Boy juga mengatakan kebutuhan pihaknya terhadap alat komunikasi yang dapat menunjang pelaksanaan pengamanan batas pantai oleh Polri.
Ia juga menjelaskan, dalam mengantisipasi arus imigran gelap maupun memberantas praktek perdagangan manusia, masing-masing negara di dunia tidak akan mampu mengatasinya sendiri-sendiri. Untuk itu dirasa perlu kerjasama antara negara-negara seperti yang dilakukan Australia dengan negara tetangganya seperti Indonesia.
Sedangkan persoalan yang mendasar dalam imigran gelap serta perdangangan manusia sendiri, kata Boy, sebenarnya berada di negara asal imigran itu sendiri. Ia mengatakan, selama masih ada konflik internal di beberapa kawan di dunia, praktek imigran gelap dan perdagangan manusia akan selalu ada.
Sementara itu, Australia menilai perlu untuk mengamankan negara-negara yang selama menjadi tempat persinggahan atau transit bagi imigran gelap seperti Indonesia, Malaysia serta Thailand. Sedangkan Singapura, menurut Boy, sangat kecil kemungkinannya digunakan sebagai tempat transit. Selain negara itu lebih kecil wilayahnya, pantai Singapura juga sangat terbatas jika dibanding ketiga negara tadi.
Dalam menjalankan aksinya, imigran gelap sering kali memasuki suatu wilayah negara menggunakan dukomen-dokumen yang dipalsukan. Pemalsuan dokumen-dokumen tersebut, kata Boy, dapat dilakukan di negara asal maupun negara tempat mereka transit seperti Thailand dan negara lain.
Sedangkan untuk di Indonesia, ia menegaskan perlunya kerjasama antar instansi di dalam negeri. Karena pihak yang berkompeten memastikan dokumen imigrasi asli atau palsu adalah pihak Imgirasi. "Mereka (Imigrasi) yang tahu persis dokumen itu asli atau palsu," ujarnya.
Perjanjian kerjasama dalam menghadapi masuknya imigran gelap dan perdangan manusia ini, kata Boy, telah dimulai sejak tahun 1995.
(Jurnal Nasional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar