OV-10 Bronco digrounded TNI AU setelah serangkaian kecelakaan dialami, penggantinya telah ditentukan Super Tucano tetapi realisasinya belum jelas.
22 Mei 2009, Jakarta -- Anggaran dan pengelolaan pertahanan negara tidak masuk akal sehingga kini mulai muncul banyak masalah krusial, termasuk kecelakaan beruntun pesawat milik TNI AU.
"Kecelakaan pesawat Hercules ini memang belum diketahui sebabnya. Tapi ini tidak seharusnya membuat pemerintah mengingkari kenyataan tentang minim dan tidak masuk akalnya anggaran pertahanan kita. Saya adalah orang yang memegang palu dalam setiap sidang anggaran Departemen Pertahanan (Dephan) di Komisi I DPR RI dan saya tahu jumlah anggaran itu dengan rinci," kata Wakil Ketua Komisi I (bidang pertahanan) DPR RI Yusron Ihza Mahendra di Jakarta, Kamis (21/5) malam.
Ia mengatakan itu menanggapi silang pendapat sejumlah pihak, termasuk kalangan pemerintah sehubungan kecelakaan beruntun. Terakhir pada Rabu (20/5) kecelakaan Hercules menewaskan sekitar 101, terdiri dari prajurit dan keluarga sipil di di Magetan, Jawa Timur.
"Tahun 2009 ini Dephan mengajukan anggaran kebutuhan minimun pertahanan sebesar Rp127 triliun, tapi pemerintah hanya sanggup memenuhi sebesar Rp33,6 triliun atau sekitar 26 persen. Dari angka itu, sekitar Rp27 triliun adalah untuk gaji dan biaya kantor sehingga sisa anggaran
untuk peremajaan dan pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) kita memang amat minim," katanya.
Yusron Ihza Mahendra menambahkan, dengan berulangnya kecelakaan, pemerintah seharusnya dapat menarik pelajaran dan jangan baru ribut setelah musibah kembali terjadi.
Adik mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra ini menyatakan, kita memang belum sanggup membuat pesawat Hercules sendir. "Tetapi kita sesungguhnya cukup memiliki kesanggupan untuk memroduksi Alutsista jenis lain, baik untuk kebutuhan AU, AL atau AD seperti panser,
helikopter dan lain-lain," katanya.
Masalahnya, kata Yusron, sejauh ini keberpihakan serta komitmen pemerintah untuk membangun industri pertahanan dalam negeri masih amat minim.
"Malah terkesan Dephan masih lebih senang menghamburkan devisa membeli Alutsista dari luar negeri ketimbang memesan produksi dalam negeri. Bahkan, sekadar memperbaiki pesawat ataupun kapal-kapal perang. Lebih dari itu, sekadar bahan peledak dan senjata genggam untuk kepolisian saja, pemerintah lebih gemar mengimpor," katanya.
Dari pertemuan Komisi I DPR RI dengan sejumlah pimpinan BUMN Industri Strategis (BUMNIS) minggu lalu, ketidakseriusan pemerintah dalam mendukung industri pertahanan nasional terungkap secara jelas.
"Tidak hanya itu. Tidak adanya cetak biru pertahanan nasional selama sekian tahun (kecuali baru ada setahun yang lalu), jelas pula mengisyaratkan bahwa pertahanan kita (termasuk pembelian Alutsista) memang dilakukan serampangan dan tanpa perencanaan," kata Yusron Ihza.
(Media Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar