Rabu, 02 Juni 2010
DPR Setujui Pengesahan UU Perjanjian RI - Singapura Tentang Penetapan Garis Batas Laut
02 Juni 2010, Jakarta -- Rapat Paripurna DPR RI menyetujui pengesahan Undang-Undang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura Tahun 2009. Seluruh fraksi - fraksi di DPR RI menyetujui dengan suara bulat setelah mendengarkan penjelasan dari Wakil Ketua Komisi I DPR RI Agus Gumiwang Kartasasmita tentang laporan pembahasan Komisi I DPR RI terhadap RUU tersebut, Selasa (1/6) di Ruang Rapat Paripurna DPR RI, Jakarta.
Rapat Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, dihadiri Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo S.H, dan pejabat perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM. Sebelumnya, RUU tersebut telah dibahas pada pembicaraan tingkat I antara Komisi I DPR dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam laporannya, Wakil Ketua Komisi I DPR menjelaskan, penetapan garis batas laut Indonesia-Singapura ini merupakan hasil dari diplomasi Indonesia dalam menentukan batas wilayah dengan Singapura, mengingat bahwa kejelasan batas wilayah tersebut akan semakin mempertegas hak dan kewajiban masing - masing pihak.
Menurutnya, batas wilayah merupakan salah satu syarat mutlak pengakuan atas eksistensi dan kedaulatan NKRI serta kepastian terhadap penegakan hukum, dengan jelasnya perbatasan wilayah maka pengawasan dan pengamanan terhadap wilayah NKRI akan terjamin sehingga mencegah terjadinya pelanggaran yang selama ini terjadi.
Dengan jelasnya perbatasan kedua negara maka akan jelas pula pengaturan jalur pelayaran dan lalu lintas laut, hal ini penting mengingat jalur pelayaran dan lalu lintas laut khususnya di Selat Singapura sangat strategis baik di bidang politik maupun ekonomi yang pada akhirnya dapat meningkatkan hubungan kedua negara.
Namun demikian, lanjutnya dengan disahkannya perjanjian batas laut antara RI dengan Singapura tersebut bukan berarti upaya pengamanan wilayah batas laut NKRI sudah selesai, mengingat masih banyaknya wilayah perbatasan laut Indonesia dengan negara tetangga yang belum diselesaikan dan hal tersebut akan tetap menjadi prioritas untuk diperhatikan.
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI, upaya penjagaan wilayah laut bagi negara kepulauan seperti Indonesia merupakan tantangan yang kompleks sebagai deterrent factor (faktor penangkalan) suatu negara. Selama ini pun, lanjutnya, Indonesia dan Singapura memiliki persoalan terkait perbatasan kedua negara.
"Reklamasi atau perluasan wilayah pantai Singapura dikhawatirkan akan mengubah garis batas Singapura, sedangkan terkikisnya Pulau Nipa (di Batam) juga dapat mengubah garis batas perairan Indonesia," tuturnya. Namun melalui pengesahan ratifikasi ini, menegaskan bahwa kedua negara akan tetap menjadikan pasal UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) sebagai patokan pengukuran batas wilayah.
Dalam UNCLOS, disebutkan bahwa pengukuran batas negara ditentukan atas dasar garis batas alamiah yang ada. "Dengan demikian, reklamasi Singapura dan terkikisnya Pulau Nipa tidak akan berpengaruh dalam mengubah garis batas Indonesia-Singapura, karena kedua hal itu tidak termasuk kategori garis batas alamiah," tambahnya.
Senada dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, saat menyampaikan pendapat akhir pemerintah, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang mewakili Presiden RI mengatakan, penetapan batas wilayah RI di wilayah berhadapan atau berdampingan dengan negara – negara tetangga akan menciptakan kepastian hukum atas wilayah kedaulatan dan hak berdaulat NKRI.
“Kepastian hukum dimaksud sangat penting guna menjamin pelaksanaan pengawasan dan pengamanan serta penegakan hukum negara serta perlindungan wilayah NKRI oleh aparat pertahanan negara dan aparat penegak hukum nasional di wilayah dimaksud”, tambah Menhan.
Selain itu, penetapan garis batas tersebut juga mempermudah upaya Indonesia sebagai negara pantai untuk menjamin keselamatan jalur navigasi Selat Singapura yang merupakan salah satu urat nadi perekonomian regional dan global yang pada akhirnya akan meningkatkan hubungan bilateral diantara kedua negara.
Lebih lanjut Menhan mengatakan, dengan berhasil diselesaikannya batas laut wilayah antara RI dengan Singapura di bagian barat Selat Singapura diharapkan dapat menjadi pendorong kuat bagi upaya penyelesaian penetapan batas maritim pada bagian lainnya.
Sementara itu, menanggapi permasalahan mengenai penamaan Selat Singapura pada perjanjian batas laut Indonesia dengan Singapura yang akan disahkan, Menhan menyampaikan bahwa berdasarkan ketentuan hukum internasional dan perundang - undangan nasional yang berlaku pada prinsipnya nama dari suatu wilayah tidak terkait dengan kepemilikian atas wilayah tersebut.
Oleh kerana itu menurut Menhan, penggunaaan nama Selat Singapura tidak serta merta menjadikan wilayah tersebut merupakan wilayah Singapura. Pada kenyataannya, sebagai konsekuensi dari lokasi geografis negara - negara yang berada di Selat Singapura maka perairan selat tersebut termasuk kedalam wilayah Indonesia, Singapura dan Malaysia.
“Penggunaan nama wilayah laut yang umumnya dikenal dengan topomini maritime, terdapat pula beberapa contoh relevan yang menunjukan bahwa nama suatu perairan tidak terkait dengan kepemilikannya”, tambah Menhan.
Menhan mencotohkan Laut Sulawesi misalnya, tidak serta merta berarti bahwa seluruh wilayah laut tersebut merupakan wilayah Indonesia saja, karena pada kenyataannya beberapa wilayah Laut Sulawesi berada dalam wilayah Malaysia dan Philipina. Demikian pula halnya dengan Selat Malaka yang beberapa perairaannya masuk kedalam wilayah Indonesia dan Malaysia.
Menhan mengatakan, penamaan atas wilayah laut bersifat netral dan mengikuti praktek - praktek internasional yang telah ada, penamaan tersebut dibahas dan ditetapkan oleh organisasi Internasional Hydrographic Organization (IHO) yang merupakan badan khusus PBB.
Oleh karena itu, menurut Menhan perlu kiranya digarisbawahi mengenai pentingnya pemahaman bahwa Indonesia sebagai negara hukum seyogyanya mentaati dan memahami ketentuan - ketentuan hukum dan perundang - undangan internasional.
DMC
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar