Rabu, 30 Juni 2010
Komando Teritorial Kuras Uang Negara
30 Juni 2010, Jakarta -- Perluasan dan penambahan struktur Komando Teritorial (Koter) di daerah dinilai hanya akan menguras uang negara.
Alasannya, Koter sudah tidak relevan lagi dengan konteks geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Demikian pernyataan sikap beberapa lembaga yang terdiri dari Imparsial, KontraS, IDSPS, Infid, PBHI, HRWG, KASUM, ICW, Praxis, dan Propatria Institute.
"Pembentukan Kodam baru memerlukan ongkos yang mahal. Bahkan bisa mencapai hingga Rp 100 triliun. Padahal, negara kita masih kekurangan dana untuk mencukupi kebutuhan dasar rakyat," ungkap perwakilan Praxis, Andi Yuwono, Rabu (30/6/2010) di Jakarta.
Komando teritorial tersebar mengikuti struktur pemerintahan daerah, contohnya Mabes TNI (nasional), Kodam (provinsi), Kodim (kabupaten), dan Koramil (kecamatan).
TNI AD baru saja menambah Kodam VI/Mulawarman di Kalimantan Timur pada 28 Juni 2010. Tindakan TNI ini kemudian mengundang kritik berbagai pihak.
Kritik juga datang dari perwakilan Imparsial, Al-Araf, yang menilai perluasan Koter sudah tidak relevan lagi dengan ancaman keamanan yang dihadapi Indonesia sekarang ini.
Menurut dia, pengembangan struktur teritorial yang diagendakan TNI AD adalah pola lama yang bertentangan dengan semangat Undang-Undang TNI soal restrukturisasi komando teritorial.
Pada Pasal 11 UU TNI disebutkan, penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Menilik sejarahnya, pembentukan Koter ini sebenarnya terjadi pada masa penjajahan.
Pada saat itu, tentara Indonesia tidak bisa melakukan perang terbuka karena sudah kalah persenjataan. Maka dari itu, dilakukan perang gerilya dengan penggalangan dukungan masyarakat melalui Koter-koter yang tersebar di provinsi hingga pedesaan.
Koter justru beri peluang bisnis ilegal
Kritik demi kritik ditujukan kepada instansi TNI AD yang tetap bersikeras mempertahankan sistem komando teritorial (koter) di daerah. Sistem tersebut dinilai memberikan potensi negatif seperti bisnis ilegal dan kekerasan di daerah.
Demikian disampaikan Wakil Koordinator Kontras, Harris Azhar, seusai jumpa pers bersama perwakilan LSM yang memfokuskan masalah pada perluasan koter dan pergantian Panglima TNI di Jakarta, Rabu (30/6/2010).
"Riset Kontras menunjukkan, praktik ilegal TNI justru lebih banyak dikerjakan anggota TNI yang berasal dari kantor komando teritorial," kata Harris di kantor Imparsial, Jakarta.
Ia menjelaskan, para anggota TNI tersebut bahkan menjadi pelaku bisnis, bukan hanya menjadi backing-an pengusaha-pengusaha nakal.
Hadirnya bisnis ilegal pada koter-koter di daerah juga merebut peluang usaha masyarakat sekitar. "Kehadiran koter sudah sangat tidak relevan. Dia (koter) justru memfasilitasi bisnis ilegal dan menutup persaingan usaha masyrakat setempat. Lihat saja keberadaan koperasi-koperasi militer itu kan mematikan bisnis masyarakat sekitar," ungkap Harris.
Tidak hanya menciptakan praktik bisnis ilegal, keberadaan koter ini juga dinilai Harris akan meningkatkan kekerasan yang dilakukan oknum TNI. "Ujung-ujungnya keberadaan koter hanya sebagai alat untuk menguatkan eksistensi TNI di tengah masyarakat," ungkapnya.
Mabes TNI AD berencana menambah 22 markas komando teritorial yang terdiri dari tiga makorem dan 19 makodim. Pembentukan koter dimulai pada masa penjajahan dengan menyesuaikan struktur TNI AD dengan struktur pemerintahan daerah untuk menggalang kekuatan gerilya. Namun, kini keberadaan koter ini dinilai tidak lagi relevan dengan kondisi ancaman yang dihadapi Indonesia.
KOMPAS.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar