Senin, 29 Maret 2010

Menhan: Media Massa Bisa Lakukan Bela Negara


29 Maret 2010, Jakarta -- Menteri Pertahanan (Menhan), Purnomo Yusgiantoro, mengatakan bahwa media massa dapat terlibat dalam bela negara, apalagi ancaman nirmiliter (nonmiliter) semakin meningkat dibanding ancaman militer.

"Media massa bisa membantu kita menumbuhkan efek tangkal apabila ada pihak yang mau menggangu kita, terutama ancaman nonmiliter. Kita ingin menumbuhkan semangat bela negara. Yang menangkal itu tidak hanya TNI, tapi kita semua. Kita ingin itu disosialisasikan," katanya dalam pembukaan Lokakarya Membangun Citra Pertahanan di Jakarta, Senin.

Bela negara, menurut Purnomo, berbeda dengan militerisme. Bela negara diamanatkan untuk semua elemen masyarakat, sipil ataupun militer. Media massa bisa ikut berperan tanpa harus angkat senjata, tapi bersikap mencintai negara dengan memberikan informasi terkait kelemahan lawan yang mau mengganggu negara.

"Kami tidak ingin mereka berpihak pada kita, tapi kita ingin media massa itu seimbang. Biasanya kalau wawancara kan nadanya negatif, tapi setelah itu harus ada nada positif. Objektif menyampaikan posisi pandangan mata, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Berita itu juga harus faktual, terkini. Pemberitaan memasukkan kondisi terkini kalau gambarnya sudah berubah. Terakhir, akurat," tutur Menhan.

Ia mengatakan, media massa kini berada dalam era industrialisasi. "Sebagai industri, tentu saja ada aturan ekonomi yang berlaku. Ia tak ingin jika industri media massa hanya dikuasai segelintir pihak sehingga akhirnya terjadi monopoli. Anda sendiri tidak suka dengan neolib. Anda sendiri ingin ada kebebasan. Maka itu, jangan sampai media tidak dikuasai oleh salah satu pihak saja," ujar Purnomo.

Menhan berharap media massa menghormati informasi pertahanan yang tidak bisa diakses sangat terbuka kepada publik karena risikonya tinggi terhadap posisi negara, sesuai UU Kebebasan Informasi Publik.

"Kita lihat betapa strategisnya pertahanan ini. Kita punya posisi strategis keutuhan bangsa, rahasia negara, peradilan militer. Terkait internal kita, ada hal-hal yang tidak bisa dibuka karena menyangkut kekuatan kita. Sebelum UU Rahasia Negara, sudah ada dalam UU Penyiaran Publik. Apalagi, tetangga kita saja ada UU yang lebih keras lagi. Kita sendiri tidak punya terkait itu," demikian Purnomo.

Media Berperan Bangun Citra Institusi Pertahanan

Membangun citra institusi pertahanan melalui media massa merupakan langkah yang harus dilakukan oleh pemimpin militer, agar wibawa TNI di mata masyarakat Indonesia sendiri menjadi meningkat serta disegani oleh pihak luar negeri, ujar pengamat komunikasi, Prof Dr Tjipta Lesmana.

Berbicara dalam lokakarya mengenai membangun citra institusi pertahanan di Jakarta, Senin, Tjipta mengatakan bahwa seluruh prajurit TNI menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya pembentukan citra positif di mata masyarakat.

Hal ini diakui tidak mudah dan membutuhkan waktu lama, tegasnya dan menambahkan bahwa pembentukan citra dapat juga dilakukan dengan memperbanyak dialog dari hati ke hati antara pimpinan TNI dan pimpinan media massa, mengikutsertakan wartawan dalam kegiatan-kegiatan penting TNI termasuk latihan perang.

Menurut dia, wartawan dapat dilibatkan dalam kunjungan ke barak-barak militer untuk melihat langsung kehidupan keluarga prajurit, meninjau daerah perbatasan yang rawan dari segala jenis ancaman.

Bila perlu, wartawan juga dapat ikut menghayati bagaimana prajurit TNI yang bertugas di daerah terpencil dan bahaya, namun dengan fasilitas yang sangat minim, ujarnya.

Dalam sistem demoktratis, pengaruh media massa sangat dominan dan sering disebut bahwa media sangat berkuasa karena dapat membentuk agenda publik yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Media kerap sekali dapat menggiring pandangan masyarakat tentang suatu permasalahan yang kontroversial, ujarnya dan menambahkan bahwa invansi militer AS di Irak menjadi contoh yang tepat.

Kemarahan masyarat AS yang selalu beralasan bahwa penyerang ke Irak disebabkan dikawatir negara tersebut memiliki senjata pemusnah massal, tapi kenyataan alasan ternyata bohong. Akibatnya media di AS menyerang balik terhadap kepemimpinan Presiden George Bush, pencitraan terhadap Presiden AS menjadi negatif.

Agar pencitraan positif, menurut Tjipta, pimpinan Kementerian Pertahanan dan TNI harus terus menerus berupaya membina hubungan baik dengan kalangan media massa dan sejumlah LSM yang selama ini bersikap kurang simpatik terhadap TNI.

Jika media massa terus menyuarakan sisi positif terhadap TNI, maka publik tentu akan terpengaruh dan citra TNI di mata masyarakat akan meningkat. Tapi apabila pemberitaan selaku yang negatif, dengan sendirinya keyakinan publik terhadap TNI juga menjadi buruk.

Selain ini, paham tentang nasionalisme dan ketahanan nasional perlu juga diberikan TNI kepada setiap insan wartawan yang bergerak di bidang politik dan keamanan. Sikap meremehkan bukan sikap antipati media terhadap TNI dilihat sebagai salah satu penyebab pencitraan buruk terhadap TNI atau mungkin juga terkait dengan ketiadaan pengetahuan wartawan tentang nasionalism dan ketahanan nasional.

Tjipta menjelaskan bahwa dalam era globalisasi dan induvidualisme ini, wacana tentang cinta tanah air sering dianggap kuno oleh masyarakat. Padahal bangsa yang tidak mencintai tanah airnya dan selalu mencintai apa saja yang berbau asing adalah bangsa yang memiliki ketahanan yang lemah.

ANTARA News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar