Rabu, 24 Maret 2010

Cara Repot Membeli Senjata


22 Maret 2010 -- Pesan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat koordinasi produsen dan pengguna alat utama sistem senjata (alutsista) pada Selasa dua pekan itu terkesan biasa saja. Melalui Wakil Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin saat membuka rapat rutin tiga bulanan itu, Presiden menyatakan, "Agar Rancangan Undang-Undang tentang Revitalisasi Industri Strategis Pertahanan dan Keamanan Nasional segera diserahkan kepada Badan Legislasi Nasional."

Hadir di gedung Direktorat Jenderal Sarana Pertahanan Kementerian Perindustrian itu wakil dari Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan dan Bappenas, TNI, Polri, PT Pindad, PT PAL Indonesia, PT Dirgantara Indonesia, PT LEN Industri, dan sejumlah industri pertahanan dalam negeri lain.

Ide memberdayakan industri pertahanan nasional mula-mula muncul dalam rapat di Kementerian Pertahanan pada Februari 2005. Yudhoyono, yang belum sampai enam bulan dilantik menjadi presiden, turut hadir. Konteks rapat saat itu adalah embargo senjata Amerika Serikat sejak 1999 yang tidak saja menyulitkan TNI membeli senjata baru, tapi juga membuat persenjataan lama, terutama asal AS-seperti pesawat tempur F-16-tak bisa diservis. Gagasannya sederhana saja, dengan industri nasional yang kuat, jika nanti ada embargo lagi, TNI tidak perlu repot.

Setelah rapat itu, perusahaan pertahanan nasional mulai mendapat lebih banyak order dari Kementerian Pertahanan. PT Pindad, misalnya, dipercaya memasok 150 panser APC "Anoa" 6x6. Hingga Januari lalu mereka sudah menyelesaikan 93 dari 150 buah panser yang dipesan TNI pada 2008. PT Dirgantara, pada 2009, dipesan untuk membuat helikopter Super Puma, Combat SAR Cougar, dan pesawat CN-235. Adapun PT PAL, selain membuat kapal angkut taktis (landing platform dock), tahun ini akan membuat dua korvet Sigma senilai US$ 530 juta untuk TNI Angkatan Laut.

Presiden Yudhoyono tampaknya ingin mendorong revitalisasi industri pertahanan nasional lewat undang-undang. Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 pada Februari lalu, masalah RUU ini masuk Prioritas Pembangunan Nasional 2010 yang ingin dipercepat.

Penguatan industri pertahanan dalam negeri bukan satu-satunya langkah strategis pemerintah. Sejak diembargo AS, pemerintah juga mulai melakukan "diversifikasi" alias mencari pemasok baru bagi persenjataan yang tak bisa dibuat di dalam negeri. "Pengalaman (buruk) dengan AS membuat pemerintah tidak mau bergantung hanya pada satu negara," kata pengamat militer Universitas Indonesia, Andi Widjajanto.

Berbeda dengan pengalihan sejumlah pembelian senjata ke dalam negeri yang berlangsung relatif lancar, diversifikasi pemasok dari luar memunculkan persoalan mencari kredit ekspor. Ini tidak mudah: semua pemberi kredit ternyata terikat perjanjian dengan perusahaan. Akibatnya, pemerintah tidak leluasa menentukan pilihan dalam membeli. "Ini mirip kredit pembelian rumah," kata Andi. "Kalau mau Bank A, ya rumahnya harus di developer tertentu." Dengan AS, pemerintah tak mendapat persoalan ini karena produsen menyediakan fasilitas kredit foreign military financing.

Sudah begitu, di Eropa bank yang mau menyalurkan kredit ekspor untuk pembelian senjata jumlahnya terbatas. Soalnya kebanyakan negara Eropa tergabung dalam Forum Kerja Sama untuk Ekonomi dan Pembangunan (EOCD), yang tegas mengatur bahwa kredit ekspor cuma boleh diberikan untuk proyek produksi seperti pembangkit listrik dan jalan tol. Prosedur pengurusan yang panjang-bisa belasan tahap dari lelang di Markas Besar TNI hingga persetujuan kredit dari Menteri Keuangan dan Bank Indonesia-membuat waktu pembelian senjata jadi tak sesuai dengan jadwal.

Dalam kunjungan ke kantor Tempo bulan lalu, Sjafrie Sjamsoeddin mengeluhkan proses pembelian yang, menurut dia, bisa mencapai tiga tahun ini. "Pada periode lalu anggaran banyak yang tidak terserap," kata Sjafrie.

Proses pengadaan persenjataan dengan kredit ekspor memang berliku. Setelah Kementerian Pertahanan mendapat alokasi dana dari Bappenas, setiap angkatan diminta membuat spesifikasi teknis barang yang ingin dibeli. "Misalnya Angkatan Laut ingin membeli kapal selam, ya silakan diperinci yang seperti apa. Ini nanti diserahkan ke Markas Besar TNI," kata Direktur Jenderal Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan Laksamana Muda TNI Gunadi.

Markas Besar nantinya akan memverifikasi apakah barang yang diajukan itu cocok dengan kebutuhan operasi. Setelah itu, mereka melakukan lelang untuk memilih calon pemasok. Penawaran yang sesuai-baik dalam hal spesifikasi maupun harga-disalurkan ke Kementerian Pertahanan untuk dipilih. Putusan Kementerian Pertahanan diambil dalam rapat tim evaluasi pengadaan yang dipimpin Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, Wakil Kepala Staf Umum TNI, dan para direktur jenderal di lingkungan Kementerian Pertahanan.

Itu baru proses di satu departemen. Setelah itu, program pembelian juga harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan dan DPR. Pada periode lalu Kementerian Pertahanan sering menunggu hingga enam bulan untuk persetujuan dari wakil rakyat. "Tapi sekarang, setelah kita intensifkan koordinasinya, lebih cepat," kata Gunadi.

Yang juga membutuhkan waktu adalah mencari kredit ekspor yang pas agar bisa disetujui Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Untuk yang ini, menurut Andreas Pareira, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan anggota Komisi I DPR periode lalu, Dewan telah mengusulkan agar pemerintah membentuk konsorsium pendanaan oleh bank dalam negeri. "Selain bisa mempercepat proses kredit, langkah itu menghemat devisa," katanya.

Sayang, sampai kini belum ada tanda bahwa konsorsium bakal terbentuk. Padahal waktu pengadaan yang panjang banyak mudaratnya. Yang paling jelek, anggaran tahunan akan hangus. Inilah yang terjadi pada periode 2004-2009. Kredit ekspor US$ 3,7 miliar untuk pembelian senjata yang telah disetujui Bappenas dikucurkan secara bertahap dalam lima tahun. Nyatanya rata-rata penyerapan tahunan tak sampai 30 persen.

Keterlambatan juga sering menyebabkan teknologi senjata yang dibeli jadi ketinggalan zaman ketika sampai ke tangan TNI. Proses pembelian peluru kendali jarak menengah QW3 dari Cina, misalnya, makan waktu empat tahun. "Begitu sampai, eh, sudah ada model terbaru," kata Gunadi.

Persoalan ini sudah lama disadari. Maka, pada 2006 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menggagas ide sistem pengadaan satu pintu. Proyek contohnya adalah pengadaan peralatan sigma: dari radar sampai mur senilai US$ 60 juta. Pembelian seperti ini biasanya ditangani oleh belasan broker tapi kali ini Kementerian Pertahanan mencoba untuk hanya memakai satu broker.

Celakanya, pilot project ini justru mandek. "Ada indikasi broker di Belanda yang ditunjuk menangani pembelian memanipulasi data," kata Andi. Menurut Andi, seharusnya pada November lalu sudah ada evaluasi tentang sistem satu pintu ini, tapi ditunda entah sampai kapan.

Untuk mengatasi kemelut itu pemerintah dan DPR mencari jalan keluar dengan menyepakati penerapan sistem pembiayaan multitahun. "Dengan sistem ini dana yang sudah disetujui tidak hangus meskipun pengadaannya molor," kata Ketua Komisi I DPR RI Kemal Stamboel. Sebenarnya, untuk Kementerian Pertahanan, sistem ini baru akan berlaku tahun depan. Namun, menurut Kemal, DPR sepakat mulai mencobanya tahun ini. "Saya dengar daftar rencana program pembelian dari Kementerian Pertahanan akan diserahkan pada musim sidang ketiga ini," kata Kemal. "Nanti kami lihat mana yang bisa segera dimulai."

MAJALAH TEMPO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar