Jumat, 23 Oktober 2009

Tolong Perhatikan Warga Perbatasan RI-Timor Leste!


24 Oktober 2009, Kupang -- Kondisi umum masyarakat di wilayah perbatasan antara RI dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) sangat memprihatinkan. Kenyataannya, mereka hidup miskin dengan kualitas hidup yang sangat rendah menurut ukuran-ukuran standar yang berlaku.

Kinerja pemerintah di perbatasan juga masih sangat rendah, baik dalam menjalankan tugas pemerintahan maupun tugas umum pemerintahan, pengelolaan alokasi dana desa (ADD), tata administrasi, dan regulasi, kata Dr Yanuarius Koli Bau, MSi, dari Pusat Studi Perubahan Sosial dan Politik Lokal Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, di Kupang, Sabtu (24/10).

Yanuarius Koli Bau mengemukakan hal itu ketika memberi masukan dalam rapat koordinasi penanganan perbatasan yang dilaksanakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTT. Rakor tersebut dalam rangka mengoordinasikan pembangunan Kawasan Perbatasan Negara dari aspek Penegasan Status Hukum Batas antara Negara.

"Kami sudah melakukan 16 kali penelitian lapangan sejak tahun 2002. Penelitian ini atas permintaan dari berbagai lembaga dalam dan luar negeri dengan tujuan yang berbeda-beda. Dari penelitian itu terdapat beberapa 'benang merah', antara lain kondisi kehidupan masyarakat di perbatasan yang sangat memprihatinkan," kata Koli Bau.

Dari penelitian itu pula terdapat sejumlah persoalan lain yang dihadapi masyarakat di perbatasan dengan negara Timor Leste, yakni masyarakat perbatasan mengidap konflik laten, baik antarwarga lokal, dengan warga baru, antarwarga baru, dengan pemerintah sipil dan militer serta lintas negara.

Dalam 10 tahun terakhir, misalnya, di enam kecamatan di Kabupaten Belu setidaknya terjadi 173 kasus konflik. "Penyebabnya bermacam-macam, seperti masalah tanah, hutan, air, ternak, kebijakan pemerintah, pilkada, dan urusan keseharian," katanya.

Semua persoalan ini menurut dia, biasanya diselesaikan dengan cara formal (customary law) dan hukum positif atau dibiarkan mereda sendiri tanpa penyelesaian.

Minimnya infrastruktur


Masalah lain yang dihadapi masyarakat di perbatasan adalah infrastruktur sepanjang perbatasan dan kecamatan lapisan pertama perbatasan masih sangat kurang. Lalu, jalan raya, kesehatan, fasilitas sekolah, kantor pemerintah (desa dan kecamatan), dan penerangan tidak memadai. Kantor penghubung di Napan dan Metamauk tidak memenuhi syarat untuk memberikan pelayanan yang memadai.

Koli Bau juga secara khusus menegaskan bahwa penanganan warga eks-Timor Timur atau yang disebut warga baru mengalami kesulitan tersendiri sebab data mengenai jumlah KK/jiwa masih berbeda di antara beberapa instansi.

Selain itu, tidak ada lahan untuk mencari nafkah, sedangkan mereka tidak memiliki keterampilan lain kecuali bertani. Terdapat pula potensi konflik di antara warga masyarakat melebihi mereka yang tidak mendiami wilayah perbatasan baik internal WNI maupun dengan negara tetangga, katanya.

Masukan-masukan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah pusat dan daerah dalam mengambil langkah-langkah pembangunan di daerah-daerah yang berbatasan perbatasan dengan Timor Leste, seperti Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Kabupaten Kupang, dan Alor.

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar