Kamis, 22 Oktober 2009

Isra Si Pengawas Laut : Radar Pantai Pertama Buatan LIPI


14 Oktober 2009 -- Alat yang terpancang di pinggir pantai itu tak lebih besar dari kotak es yang biasa dibawa para nelayan untuk menangkap ikan, tapi tak ada kapal besar yang bisa menghindarinya. "Kepalanya" yang berbentuk dua potongan silinder berwarna abu-abu secara kontinu menembakkan gelombang dengan modulasi FM-radio ke arah laut.

Begitu "menangkap" kapal laut yang mendekat, sinyal itu kembali memantul ke pantai. Dalam sekejap, keberadaan kapal laut itu sudah terlihat di layar monitor.

Begitulah cara kerja Isra, si radar pengawas laut. Isra (Indonesia Sea Radar) adalah radar buatan Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET LIPI). Bersama Indra (Indonesian Radar), radar buatan tim RCS-247 (divisi radar dari perusahaan teknologi informasi Solusi247), Isra ditampilkan dalam Seminar Radar Nasional III Tahun 2009 di Bandung, Kamis pekan lalu. "Keduanya merupakan radar pertama buatan Indonesia," ujar Kepala Bidang Telekomunikasi PPET LIPI Mashury Wahab kepada Tempo.

Berbeda dengan Indra yang "lahir duluan", Isra merupakan jenis radar pengawas pantai (coastal surveillance radar). Sedangkan Indra dikembangkan sebagai radar navigasi kapal. "Selain itu, peranti lunak Indra harus mengikuti ketentuan International Maritime Organization (IMO), sedangkan ISRA tidak," kata Mashury.

Aplikasi dari radar ini, kata Mashury, paling tidak untuk memonitor lalu lintas kapal laut di pelabuhan. Radar ini bisa digunakan sebagai pemandu kapal-kapal besar yang berseliweran di pelabuhan tidak sampai bertabrakan atau mengantisipasi masuknya kapal laut pendatang ilegal. "Juga memonitor kapal laut di pinggir pantai, seperti daerah pantai di pulau terluar atau Selat Malaka yang rawan didatangi kapal asing tanpa izin," katanya.

Syahrul Aiman, Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, menyatakan sampai 2014, LIPI mentargetkan pengembangan tiga radar pengawas pantai yang akan dipasang di tiga kawasan terujung pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. "Untuk sementara, LIPI baru mengembangkan radar darat untuk navigasi pantai," ujarnya. "Radar untuk militer masih akan dibahas."

Saat ini Isra memang masih dalam taraf uji coba. Tes pertama dilakukan di atas gedung LIPI di Sangkuriang, Bandung. Tes berikutnya akan dilaksanakan di pinggir laut di Cilegon, Banten, di dekat PLTU Suralaya pada akhir Mei.

Untuk tes dalam skala lebih besar tersebut, 20 peneliti dengan tim inti sebanyak enam orang telah menyelesaikan beberapa prototipe. Nantinya Isra akan diletakkan di beberapa tempat berbeda yang satu sama lain dihubungkan dengan jaringan. "Karena jangkauan setiap radar 64 kilometer, dengan menggabungkannya dalam satu jaringan, pemantauan radar itu akan mencakup ratusan kilometer," katanya.

Sejauh ini, tes menunjukkan radar bisa bekerja baik, tapi masih ada beberapa penyesuaian yang harus dilakukan sesuai prinsip cara kerja pantulan pada radar. Salah satunya, obyek yang dideteksi bisa memancarkan kembali sinyal yang dipancarkan oleh ISRA. "Misalnya, pantulan dari kapal kecil yang terbuat dari fiber pantulannya akan lebih kecil dibandingkan dengan kapal besar yang sebagian besar terbuat dari metal," katanya.

LIPI sengaja membatasi kemampuan pembacaan obyek kapal untuk menghindari radar berteknologi Frequency Modulated Continuous Wave (FMCW) itu mendeteksi semua jenis kapal mulai yang paling besar hingga perahu nelayan yang kecil. "Kita harus memilih daerah mana yang akan dilihat," katanya.

Nantinya Isra akan dipasang di atas menara setinggi 10 meter. Idealnya, kata Mashury, lebih tinggi lebih bagus namun tidak lebih dari 40 meter. "Kami harus memperhitungkan tamparan angin yang akan semakin kencang jika radar semakin tinggi," katanya.

Gangguan angin dan kondisi alam memang salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja Isra sehingga Mashury berencana meningkatkan kemampuan radar itu dalam mendeteksi obyek, baik dari sisi jangkauan maupun kemampuan untuk mengurangi gangguan alam sekitar. Tekanan angin yang kencang, misalnya, dapat mengacaukan sinyal yang terbaca di alat penerima. Angin kencang juga bisa membahayakan kestabilan kaki pancangnya sehingga survei lokasi amat penting dilakukan sebelum menempatkan radar.

Meski belum sempurna betul, Mashury amat bangga dengan radar baru ini. Dengan bobot sekitar 150 kilogram, Isra memiliki peralatan elektronik yang semuanya dipasang di dalam badan radar. "Ini yang membedakan dengan produk lain yang menyimpan peralatan elektronik di tempat terpisah," katanya.

Sebagai radar pertama buatan dalam negeri, Isra dan Indra dibuat dengan semangat mandiri alias tidak bergantung pada komponen luar negeri. Itu sebabnya, sejak dirancang pada Mei 2006, radar ini sudah diwarnai dengan sejumlah komponen lokal asli buatan dalam negeri. Dari peranti lunaknya, komponen-komponen seperti filter, modul antena, konstruksi mekanik, dudukan antena, penggerak motor, sampai radome (kepala berbentuk dua potongan silinder yang menyelubungi antena radar).

Meski demikian, tim LIPI maupun RCS-247 tak bisa menghindari komponen impor karena radar membutuhkan banyak peralatan yang belum bisa dibuat di dalam negeri. Komponen impor yang digunakan antara lain peralatan pengatur frekuensi seperti penguat daya (power amplifier) dan low noise amplifier, penerima sinyal dengan gangguan noise yang dikurangi dan diletakkan di bagian penerima sinyal. "Konten lokal masih empat puluh persen, sisanya impor," katanya.

Antara 'Adik' dan 'Kakak'

Isra bisa dikatakan sebagai "adik kandung" Indra. Isra dirancang oleh para peneliti dari Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET LIPI), sedangkan Indra, yang selesai dibuat pada 2008, merupakan hasil kreativitas divisi Radio & Communication System (RCS) dari PT Solusi 247.

Meski begitu, para ahli dari LIPI juga terlibat di dalam pembuatan Indra karena pada proyek Indra-1, LIPI juga sudah terlibat terutama pada pengukuran dan pengetesan. "Kami juga terlibat mengerjakan Indra-1 dan dalam waktu yang sama juga menggarap Isra," kata Mashury.

Keduanya membutuhkan waktu pengerjaan yang relatif sama, yaitu sekitar tiga tahun.

Pada tahap berikutnya, kedua radar ini akan berganti nama. "Nama radar Indra-1 nantinya akan diganti menjadi Indera, sedangkan Indra-2 adalah nama radar yang kemudian diganti menjadi Isra," ujarnya.

Persamaan di antara keduanya adalah teknologi yang diterapkan, yaitu Frequency-Modulated Continuous Wave (FM-CW). "Dengan teknologi ini, konsumsi daya dan ukuran radar menjadi lebih kecil dari radar pada umumnya," katanya.

Keuntungan lain teknologi ini adalah hemat biaya. Dibandingkan dengan radar yang menggunakan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS), misalnya, ongkos radar buatan Indonesia ini jauh lebih murah.

Kalau rusak, kata Mashury, penggantian komponen radar IMSS lebih mahal. Begitu pula biaya perawatannya. "Kira-kira perbandingannya bisa menjadi satu berbanding 10," ujarnya.

Ini juga diakui oleh Chief Executive Officer PT Solusi 247 Beno K. Pradekso. Menurut Beno, harga radar buatan dalam negeri ini lebih murah ketimbang radar impor. "Harga belum bisa katakan, tapi yang pasti lebih murah dibandingkan radar serupa buatan luar negeri," ujar Beno.

Adapun perbedaan di antara kedua radar ini, "si kakak" didesain untuk disimpan di kapal laut. Jadi desainnya pun, menurut Mashury, disesuaikan dengan pengaruh ombak atau guncangan di atas kapal.

Sedangkan "si adik" dirancang untuk disimpan di pinggir pantai sehingga desainnya berdasarkan perhitungan terpaan angin. "Kegunaannya untuk memantau pergerakan kapal dari pinggir pantai dengan jangkauan mencapai hingga 64 kilometer," ujar dia.

Perbedaan lain adik-kakak ini juga terlihat dari desain radome, pelindung berbentuk silinder yang ditempatkan pada pemindai radar untuk mencegah risiko guncangan dan untuk melindungi radar dari efek cuaca. Jika pada Indra ditemukan lekuk-lekuk yang mengarah ke depan radar, pada ISRA tidak ada lekukan sedikit pun. "Bentuknya ini ada perhitungannya karena jangan sampai sinyal yang dikeluarkan berkurang kekuatannya karena sudut atau bentuk yang salah," ujarnya.

Ristek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar