Senin, 26 Oktober 2009

Serdadu Anak dan TNI


26 Oktober 2009 -- Negara Sierra Leone di bagian barat Afrika dicabik-cabik perang saudara tahun 2000. Negara ini semakin terkenal setelah film Blood Diamond yang dibintangi Leonardo Di Caprio, dirilis tahun 2007.

Tanpa banyak diketahui, puluhan perwira TNI bergantian menjadi pengawas militer (military observer atau milobs) di bawah bendera PBB sekitar tahun 2002-2003. Mereka mengawasi upaya perdamaian.

Sierra Leone pernah didera perang saudara antara kubu pemberontak yang dimotori Revolutionary United Front dan kubu pemerintah dan militer Sierra Leone Army. Ini terjadi pada tahun 1991.

Puncak pertempuran terjadi tahun 1997-2000. Pada pertempuran 1999, tercatat sekurangnya 6.000 orang tewas di ibu kota, Freetown. Kubu pemberontak mengandalkan pendanaan dari bisnis ilegal yang dijual di pasar dunia.

Rakyat di negeri berpenduduk sekitar 4,75 juta itu pun menjadi korban. Ribuan anak terlibat penambangan berlian ilegal, menjadi tentara dan dihukum dengan mutilasi di tangan atau kaki.

”Hukuman dijatuhkan dengan sekehendak hati oleh kelompok yang berkuasa di suatu daerah. Setidaknya di setiap kampung ada 10 orang muda yang kehilangan salah satu kaki atau tangan mereka. Sierra Leone betul-betul kehilangan satu generasi akibat konflik horizontal,” kata Letnan Kolonel Farid Makruf yang pernah bertugas sebagai milobs PBB di Freetown dan Fort Loko tahun 2002-2003.

Farid, perwira Kopassus yang ketika itu masih berpangkat kapten, mendapati sebuah negeri yang hancur lebur. ”Film Blood Diamond memang sungguh terjadi. Situasi warga sangat memprihatinkan. Banyak mantan tentara anak yang tidak dapat direhabilitasi, menjadi sangat liar, agresif, sehingga tidak bisa kembali ke masyarakat,” ungkapnya.

”Para bocah berusia sepuluh tahun hingga 12 tahun sudah pandai menembak dan membongkar pasang senapan serbu AK-47,” ujar Farid mengenang situasi di Sierra Leone.

Menurut Farid, banyak dari prajurit anak yang dicekoki narkotika sehingga kecanduan dan menjadi ganas. Mereka mengalami pencucian otak sehingga berani melawan orangtua.

Pernah terjepit

Sebanyak 10 perwira milobs Indonesia dalam Kontingen Garuda XIX-4 United Nation Mission in Sierra Leone (Unamsil) menghadapi pelbagai situasi berbahaya selama bertugas di 10 lokasi di seluruh negeri. Indonesia dipercaya PBB untuk mengirimkan beberapa gelombang kontingen Unamsil hingga misi ditarik karena perdamaian dicapai tahun 2006.

Ancaman fisik dan tekanan mental dialami para perwira PBB. Sebelum Kontingen Garuda XIX-4 tiba, seorang perwira TNI yang bertugas sebagai milobs sempat disandera pemberontak. Bahkan, pasukan junta militer Armed Forces Revolutionary Council menyandera para tentara Inggris yang melatih pasukan pemerintah.

Para pengamat PBB yang tidak bersenjata itu diintimidasi karena mereka memberikan laporan obyektif tentang situasi sebuah daerah yang ditinjau. Para milobs, lanjut Farid, juga harus menerima laporan keluhan mantan pemberontak dan penyerahan senjata.

Para milobs pernah ”terjepit” karena harus menjadi mediasi agar pemberontak tidak menyerang Sierra Leone dari wilayah Liberia di sebelah timur yang juga dalam keadaan karut-marut. Salah satu ”pemain” dalam perang saudara di Sierra Leone adalah penjahat perang asal Liberia, Charles Taylor. Milobs harus bergerak ke pedalaman, daerah tambang, dan zona rawan konflik.

”Saya juga mendapat kesempatan langka menyaksikan proses peradilan para penjahat perang. Ada juga kasus yang berhasil diselesaikan lewat Dewan Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Council). Upaya rekonsiliasi mereka mencontoh kasus Afrika Selatan. Pengalaman itu sebetulnya sangat berharga bagi Indonesia,” kata Farid.

Singkat cerita, ujar Farid, perwira TNI pun mendapat pujian dan direkomendasikan untuk kembali bertugas pada masa mendatang.

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar