Senin, 19 Oktober 2009

Jangan Sampai "Visi 2025" Jadi "Ilusi 2025"

Beberapa panser dalam penyelesaian produksi oleh karyawan di PT Pindad, Bandung, Jawa Barat, 10 Februari. Pengerjaan panser 6 x 6 tersebut merupakan bagian dari 150 unit pesanan Departemen Pertahanan untuk menambah armada alat utama sistem persenjataan TNI dan ditargetkan selesai semuanya pada akhir tahun ini. (Foto: KOMPAS/Rony Ariyanto Nugroho)

20 Oktober 2009, Jakarta -- Majalah ”The Economist” edisi 12-18 September lalu memuat laporan khusus tentang Indonesia sepanjang 14 halaman berjudul ”A Golden Chance” atau ”Peluang Emas”. Ada banyak hal yang dikemukakan dalam laporan tersebut, tetapi satu yang patut dicatat adalah kemampuan Indonesia mengurangi dampak krisis 2008-2009. Ini karena perekonomian Indonesia lebih kurang bergantung pada ekspor/perdagangan dan sebaliknya banyak mengandalkan konsumsi dalam negeri.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan menegaskan bahwa ada alasan lebih serius untuk hal ini daripada sekadar terbatasnya keterpaparan pada perekonomian global.

Di luar penegasan Menteri Sri Mulyani, ada kejelasan bahwa unsur penyelamat adalah konsumsi domestik. Hal ini, dari satu sisi, memang tampak sebagai berkah. ”Untung kita tidak mengandalkan ekspor, lebih-lebih yang bercorak manufakturing”, begitu mungkin ungkapan syukur itu. Tetapi, pada sisi lain, hal itu juga memperlihatkan bahwa kita tidak memiliki kapasitas di situ, yakni di industri manufakturing, dan bila diteruskan, tidak ada hasil rekayasa teknologi yang kita produksi sendiri. Lebih jauh lagi, kita juga tidak punya cukup iptek dan inovasi yang berperan dalam perekonomian.

Lalu, apakah kita tidak mensyukuri berkah lolos dari krisis 2008-2009 karena tidak punya kemampuan itu dan sebaliknya nyaman-nyaman saja berkecimpung dalam konsumsi domestik? Persoalannya bukan bersyukur atau tidak bersyukur. Tetapi, pertumbuhan dengan hanya mengandalkan konsumsi domestik selain hanya ”begitu-begitu saja”, dalam kisaran 4-6 persen per tahun, juga tidak sepatutnya bagi Indonesia.

Yang kita inginkan adalah pertumbuhan di atas 8 persen per tahun (pertama, dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja lebih luas) dan, kedua, pertumbuhan yang berkelanjutan, yang didasarkan pada proses nilai tambah. Dengan karakteristik ini, cocoklah apa yang menjadi realitas dan apa yang dikumandangkan, yakni menjadikan ekonomi Indonesia ekonomi berbasis pengetahuan.

Iptek dan inovasi

Ekonomi berbasis pengetahuan (EBP) jelas membutuhkan basis penguasaan iptek yang kuat dan mendalam. Hal ini bisa diwujudkan bila ada pendidikan yang mendukung sehingga tersedia sumber daya insani yang cakap untuk menghasilkan inovasi iptek. Melengkapi persyaratan untuk keberhasilan proses EBP adalah terbangunnya budaya technopreneurship atau kewirausahaan di bidang karya-karya inovasi iptek.

Bagaimana realitas di lapangan?

Beberapa waktu terakhir ada sejumlah lomba yang dari sisi semangatnya mengembangkan inovasi, seperti Indonesia Berprestasi Awards (XL), Indigo (Telkom), juga Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR-LIPI). Selain itu, masih ada lomba Inovasi 101 (Kementerian Negara Riset dan Teknologi).

Dari sini saja tampak ada banyak ide inovatif yang potensial untuk dikembangkan menjadi produk industri yang komersial. Tapi, pengalaman memperlihatkan, betapa sedikit, atau bahkan tiadanya, inovasi anak bangsa yang lalu sukses di pasar, memberi kontribusi signifikan bagi perekonomian.

Pengalaman dari Dewan Riset Nasional lagi. Puslitbang Angkatan (Udara, Darat, dan Laut) punya banyak inovasi bagi TNI. Tetapi, di sini juga sedikit dari inovasi tersebut yang kemudian diadopsi di lingkungan TNI sendiri.

Untuk produk lebih substantif, seperti alat utama sistem persenjataan (alutsista), PT DI harus berjuang keras untuk menawarkan pesawat patroli maritim CN-235 MPA ke TNI AL, dan PT Pindad berhasil memproduksi panser hasil rekayasanya ke TNI AD setelah muncul terobosan kebijakan pendanaan yang ditempuh oleh Wapres Jusuf Kalla.

Kasus panser Pindad memperlihatkan bahwa meskipun ada keterbatasan anggaran, manakala ada inovasi dalam kebijakan, hal yang sulit dapat ditemukan solusinya. Sekadar catatan, dalam pengadaan panser Pindad, dapat diupayakan pendanaan domestik dengan melibatkan bank-bank lokal. Selama ini, yang banyak ditempuh adalah pengadaan melalui kredit ekspor.

Di satu sisi, fasilitas ini membuka kemungkinan untuk pengadaan, tetapi di pihak lain, barang yang dibeli harus berasal dari negara pemberi kredit. Artinya, Indonesia tidak mendapat manfaat bagi pengembangan proses nilai tambah walaupun ada kemampuan dalam negeri untuk membuat produk yang dibeli dari pemberi kredit.

Jadi, bila disimpulkan, memang ada kesulitan struktural dalam karya inovasi anak bangsa. Para inovator telah mendapat banyak ide, tetapi hanya sedikit yang lalu menghasilkan berkah keuntungan. Hal ini terjadi bisa karena memang ia tidak punya dana pengembangan dan pemasaran. Tetapi, bisa juga karena masyarakat dan birokrat Indonesia belum siap mendukungnya.

Apa pun alasannya, jelas, bahwa inovator—sebagaimana hakikat seorang insinyur—tak cukup hanya membuat, tapi ia juga harus bisa menjual. Di sinilah peran technopreneurship begitu penting.

Sekadar pasar

Dalam Laporan Iptek Kompas (19/8) diungkapkan kerinduan untuk melihat bangsa ini mengonsumsi produk buatan lokal. Kelompok band Cokelat melalui lagu ”100 Persen Cinta Indonesia” memvisikan bahwa HP, TV, pesawat, kapal laut, mobil, dan motor yang digunakan bangsa Indonesia buatan Indonesia.

Laporan itu sendiri diangkat setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di DPR pada 14 Agustus 2009 menyampaikan keyakinannya bahwa Indonesia akan menjadi negara maju tahun 2025, yang ditopang oleh kemandirian, daya saing, dan budaya unggul.

Satu setengah dekade menuju 2025 bisa panjang, tetapi juga bisa jadi pendek. Pertama, untuk mengejar iptek yang dibutuhkan untuk mengantar ke kemajuan yang divisikan oleh Presiden; kedua, untuk merombak kultur bangsa Indonesia yang belum maju. (Misalnya, belum sadar iptek atau yang masih gemar korupsi seperti disitir oleh The Economist ketika menyinggung hambatan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan peluang emasnya.)

Ahli GSM (sistem seluler yang jadi tulang punggung komunikasi seluler Indonesia) yang masih terbatas, padahal ada sekitar 130 juta pengguna HP di negeri ini, adalah contoh yang gamblang tentang ketergantungan kita pada teknologi asing. Di bidang seluler ini, ketergantungan pada produk asing nyaris paripurna, membuat devisa yang tersedot untuk seluler saja sebesar 2,9 miliar dollar AS (sekitar 27 triliun) per tahun (Tempo Interaktif, 14/12/2006).

Namun, seluler bukan kasus pertama karena sebelumnya (yang berlangsung hingga hari ini) ada kasus lain, yakni otomotif. Karena KKN, hingga hari ini Indonesia tidak kunjung bisa mengembangkan industri mobil nasional sebagaimana Malaysia. Padahal, jalanan Indonesia begitu macetnya akibat laju pembelian mobil yang begitu tinggi.

Tampak untuk hampir semua produk teknologi komersial, Indonesia sejauh ini masih ditakdirkan sebagai pasar saja.

Tebersit pertanyaan, ”Akankah ini berlangsung selamanya?”

Tentu kita awas bahwa di era globalisasi sekarang ini mustahil untuk membuat sendiri semua kebutuhan. Pesawat-pesawat maju Boeing seperti 777 punya komponen yang berasal dari berbagai negara. Tetapi, Boeing tetaplah merek AS, dan dengan pesawat Boeing AS mengembangkan nilai tambah memanfaatkan kemajuan ipteknya untuk meraih devisa dan memajukan ekonomi nasional.

Meraih momentum

Kini Kabinet Indonesia Bersatu II segera mulai bertugas dan bangsa pun berharap agar lahir momentum baru untuk menghidupkan kemandirian yang diwujudkan dalam kebijakan membuat dan membeli barang karya sendiri.

Tantangan yang masih ada sejauh ini adalah ketidakefisienan birokrasi serta praktik KKN, dan untuk menghilangkannya dibutuhkan kepemimpinan nasional yang tegas dan kuat. Dalam kaitan ini, yang sejauh ini muncul barulah visi tentang masa depan, tetapi peta jalan untuk menuju ke sana masih kabur.

Kita tentu tidak ingin ”Visi 2025” menjadi ”Ilusi 2025” karena tidak ada kecakapan untuk mewujudkan. Sementara pada tahun 2025, dunia akan banyak diwarnai kemajuan iptek yang sekarang ini sudah tampak di cakrawala, apakah itu di bidang energi ramah lingkungan, nanoteknologi, rekayasa genetika, TIK revolusioner, bahkan eksplorasi ruang angkasa. Sementara sekarang ini kita masih berjuang menanggulangi problem struktural fundamental, seperti kesenjangan digital.

Cinta Indonesia seperti dilagukan Cokelat harus dimulai dari adanya nasionalisme ekonomi, ditandai oleh adanya keinginan untuk memiliki properti yang dimiliki oleh bangsa sendiri dan fungsi ekonomi yang dikerjakan oleh bangsa sendiri (Harry Johnson, 1972; Thee Kian Wie, 2009). Nasionalisme ekonomi tidak diwujudkan dalam penjualan perusahaan strategis seperti telekomunikasi, sebaliknya ia malah mendorong berkembangnya kemampuan dalam negeri agar suatu saat mencapai kemandirian nasional di berbagai bidang. (Ninok Leksono)

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar