Rabu, 08 Agustus 2012

Museum Inggit Garnasih

Museum Inggit Garnasih
Ilustrasi parmaali/"PR"
Lokasi : Jalan Inggit Garnasih No. 8 (dulu Jln. Ciateul) Kecamatan Regol, Kota Bandung
Berdiri : 1920
Luas Bangunan : 161, 50 M2
Luas tanah : 260 M2
Pengelola : Dinas Parawisata dan Kebudayaan Jawa Barat
Koleksi Saat Ini : Dua pasang batu pipisan jenis batu andesit, foto peristiwa dan kegiatan para pejuang pelopor kemerdekaan, meja belajar Soekarno dan sofa, surat nikah dan permohonan cerai Inggit Garnasih
Fungsi : Museum koleksi Inggit Garnasih dari Soekarno, pusat studi sejarah pergerakan pejuang dan peran kaum ibu, serta wisata sejarah dan budaya
Fasilitas : Ruang kegiatan untuk Komunitas
BANGUNAN yang tadinya merupakan rumah tinggal ini menjadi saksi sejarah hubungan Presiden RI pertama Ir Soekarno dengan Inggit Garnasih. Keberaaannya seolah menegaskan pameo bahwa di balik seorang pria tangguh selalu ada wanita tangguh yang mendukungnya. Ya, Inggit Garnasih tak pernah mundur dari perjuangan mendukung suami, Soekarno, ketika sedang berusaha keras mencapai Indonesia merdeka. Wanita kelahiran 17 Februari 1888 di Desa Kamasan Banjaran, Kabupaten Bandung ini, bahkan rela ikut ke Ende dan Bengkulu demi menemani suami dalam pembuangan. Hari-hari bersama Inggit Garnasih dan anak angkatnya Ratna Djuami serta Kartika di pulau pengasingan, membesarkan jiwa Soekarno untuk terus melawan tirani penjajah.

Kala itu, pemerintah Hindia Belanda sangat giat memata-matai Soekarno di Partai Nasional Indonesia yang baru berganti nama dari Perserikatan Nasional Indonesia pada tahun 1928. Belanda menunggu kesempatan untuk segera meringkusnya bersama-sama para pejuang kemerdekaan Indonesia yang lain. Penjara Banceuy dan lapas Sukamiskin di Bandung adalah tempat yang dipersiapkan memenjarakan diri serta pemikiran Soekarno. Namun, kegigihan Inggit dalam memberikan semangat kepada suaminya itu membuat Sang Putra Fajar itu tak melempem di tengah dinginnya dinding penjara. Selama beberapa waktu, Inggit yang berjualan bedak, lulur, serta jamu untuk membiayai kehidupannya membesuk Soekarno dan memberikan makanan juga informasi. Dengan bermacam-macam kode dan cara, inggit berhasil menyelundupkan buku-buku yang menjadi sumber penulisan pledoi Soekarno yang terkenal, Indonesia Menggugat.

Pembelaan Soekarno ini membuka mata dunia akan buruknya efek penjajahan dan bangkitnya perlawanan pribumi. Meskipun Soekarno berjuang secara pemikiran dan fisik melawan penjajah Belanda. Inggit berjuang secara domestik memastikan perjuangan lainnya berjalan. Wanita ini rela berjualan rokok yang dibungkus daun kawung dan dilintingnya sendiri dengan merek “Rokok Kawung Ratna Djuami bikinan ibu Inggit Garnasih”. Upaya ini dilakukan karena Bung Karno selalu dibayangi penahanan dan pembuangan, serta hari-harinya lebih banyak tersita oleh konsolidasi perjuangan, sehingga dalam mencari nafkah lebih banyak dilakukan oleh Nyonya Soekarno.

Sejuta kenangan telah menghiasi rumah sederhana ini, yang hanya terdiri atas satu ruang tamu, satu ruang makan, dan tiga kamar tidur. Para pejuang datang dan pergi dari rumah ini setelah berdiskusi dengan Kusno, panggilan kesayangan Bung Karno dari Inggit Garnasih.

Inggit dinikahi Bung Karno pada tanggal 24 Maret 1923. Berbagai aktivitas politik yang sering digelar di rumahnya. Pada 23 Desember 2010, rumah ini telah diresmikan sebagai rumah bersejarah oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. Bangunan cagar budaya ini ditingkatkan statusnya menjadi museum. Batu pipisan yang telah menemani Inggit membuat bahan kecantikan Sari Pohaci yang juga membantu membiayai perjuangan awal kemerdekaan, menjadi ikonnya. Inggit Garnasih tidak pernah tinggal di Istana, karena dalam upaya Soekarno mendapatkan keturunan, kedua pasangan ini bercerai pada 29 Januari 1943 dengan disaksikan salah satunya oleh Mohammad Hatta. Inggit Garnasih meninggal dunia pada 13 April 1984 di usianya yang ke-96 tahun dan dimakamkan di TPU Caringin (Porib) Kota Bandung.

Sumber: E. Saepulah/Periset “Pikiran Rakyat”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar