Kamis, 07 Oktober 2010

Strategi Industri Pertahanan

KRI Barakuda produksi PT. PAL Surabaya.

08 Oktober 2010, Jakarta -- Komite Kebijakan Industri Pertahanan akan membentuk strategi besar industri pertahanan. Industri pertahanan seharusnya bisa menggerakkan ekonomi nasional.

”Tentang pendanaan akan masuk dalam Rancangan Undan-Undang tentang Revitalisasi Industri Strategis Pertahanan dan Keamanan Nasional, yang akan dibahas tim teknis,” ungkap Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, yang juga Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), seusai sidang pertama KKIP, Kamis (7/10) di Jakarta. Sidang itu dihadiri Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar, Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata, Menteri Perindustrian MS Hidayat, dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.

Menurut Purnomo, KKIP menyusun langkah mendatang untuk merevitalisasi industri pertahanan. Industri pertahanan Indonesia kolaps tahun 1997-1998. Karena itu, KKIP merancang kebijakan untuk memajukan industri pertahanan.

Mustafa mengatakan, pembenahan itu termasuk dengan cara menghindari penggunaan subkontraktor yang selama ini ditengarai membuat biaya operasional tinggi. ”Subkontraktor berimplikasi pada mark up. Ini jadi concern agar industri strategis lebih kompetitif,” katanya.

Selain itu, secara operasional industri strategis tersebut juga akan melakukan kerja sama, baik dengan industri dalam negeri maupun dari luar negeri. Sekretaris KKIP, yang juga Wakil Menhan, Sjafrie Sjamsoeddin menambahkan, saat ini kerja sama itu juga sedang berjalan. Ia memberikan contoh, PT PAL bekerja sama dengan Belanda membuat kapal perusak kawal rudal. PT Pindad juga bekerja sama dengan Perancis dan Korea Selatan untuk membuat panser Tarantula dengan canon 90 mm. Selain itu, PT Dirgantara Indonesia juga bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk membuat 18 helikopter Bell 412.

Terkait pendanaan yang selalu menjadi kendala, Menhan memastikan, hal ini masih akan dibahas dalam RUU Revitalisasi Industri. Menurut Sjafrie, pemerintah akan mengusahakan sumber dana lain selain kredit ekspor. Karena itu, tengah digodok bentuk alternatif, seperti surat utang negara atau pinjaman dari dalam negeri.

Dalam RUU itu juga akan diatur soal pemesanan dan produksi. Konsekuensinya, industri strategis harus mampu meningkatkan produktivitasnya. Namun, peningkatan ini diakui sangat membutuhkan suntikan modal dari perbankan. ”Tujuannya, industri pertahanan harus dapat menciptakan pergerakan dalam ekonomi nasional,” kata Sjafrie.

Berdasarkan kebutuhan lima tahun ke depan, untuk mencapai pemenuhan kebutuhan pokok minimal, dibutuhkan Rp 150 triliun.

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar