Selasa, 12 Oktober 2010

Kata “Pamali” Menjaga Alam Tetap Lestari

Judul Asli: Tutupan, Titipan, Garapan
Kehidupan masyarakat adat tidak bisa lepas dari alam. Mereka menjaga hutan dengan amat baik dengan konsep pamali. Hutan terbagi menjadi tiga bagian, sesuai tritangtu, yakni hutan tutupan, titipan dan garapan. Hanya hutan garapan yang boleh dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Di kedua hutan yang lain, jangankan bercocok taman, mengambil ranting pohon yang mati pun tidak diperbolehkan. Berbagai jenis bencana akan menghampiri jika larangan ini dilanggar.

Di Kampung Kuta, Kabupaten Ciamis, hutan seluas 40 hektare terjaga asri berkat konsep pamali seperti ini. Masyarakat tidak berani mengambil apa pun dari sini. Jika aturan dilanggar, dipercaya ada harimau yang sewaktu-waktu muncul memberi peringatan. Jumlahnya tak hanya satu, tetapi lima. “Mereka hanya menampakkan diri jika ada orang yang melanggar. Selama tidak ada yang merusak mereka juga tidak akan mengganggu,” kata Karman, ketua adat.

Pamali sarupa itu, mesti tidak menyertakan harimau, juga berlaku di kampung-kampung adat lainnya. Kesepuhan Ciptagelar menerapkan konsep serupa untuk menjaga hutan tutupan dan titipan mereka seluas puluhan hektare di punggung Gunung Halimun-Salak. Di Kampung Naga, Tasikmalaya hutan seluas1,5 hektare di seberang sungai juga lestari terjaga. “Luas hutan itu terus bertambah. Jika ada pohon menjalar dari hutan ke sawah milik warga, tak ada yang berani memotongnya. Justru kami yang mengalah, ucap Ucu Suherlan, salah seorang sesepuh Kampung Naga.

Keyakinan menjaga hutan dipraktekkan tanpa pamrih. Di Kuta, ketinggian hutan berada di bawah perkampungan warga. Akibatnya sumber air bersih melimpah dari hutan larangan yang mereka jaga tidak bisa secara langsung mereka nikamati. Justru orang-orang kota yang hilir yang memperoleh banyak manfaat. Meski demikian hal itu, tidak menyurutkan ketaatan mereka pada kearifan lokal yang telah dilakoni secara turun temurun. Salah satu tonggak pengakuan keberhasilan konservasi hutan di Kampung Kuta adalah penganugerahan Kalpataru pada 2002.

Budayawan Jakob Sumarjo menuturkan dalam alam pemikiran masyarakat adat, manusia tidak berbeda dengan alam. Konsepnya, makrokosmos (alam) sama dengan mikrokosmos (manusia). Di tatar Sunda dikenal konsep tritangtu, serta perkampungan kabuyutan adalah semacam roh yang dihormati dan dijaga kelestariannya oleh warga. Konsep ini yang terbukti berhasil berperan dalam upaya pelestarian hutan. “Karena alam diyakini baik maka alam menjadi pedoman dan pegangan hidup. Segala bersumber pada keyakinan semacam itu,” ujarnya.

Kedekatan dengan alam dalam bingkisan pamali juga terwujud dalam pembuatan rumah. Tidak ada tembok yang digunakan dalam pembangunan rumah-rumah. Yang dipakai adalah bahan-bahan alam, seperti kayu dan daun. Filosofinya jelas, yakni hidup setrurut alam. Oleh karena itu, di rumah panggung, batu diletakkan di bawah sebagai fondasi, kayu di tengah, dan daun di tempat paling atas sebagai atap. Cara berdiri tiang-tiang kayu juga mesti sesuai dengan kondisi aslinya. Tidak boleh terbalik antara pangkal dan ujungya.

Penggunaan tembok merupakan sesuatu yang tabu. Tembok dinilai menjadi representasi kuburan yang hanya diperlukan bagi orang mati. Penggunaan genting sebagai atap rumah juga sesuatu yang harus dihindari. Genting terbuat dari tanah. Dan tanah diperuntukan bagi urang mati.

Di beberapa kampung adat, pamali dalam pembangunan rumah adat masih dipegang teguh, seperti di Kutad an Naga. Karman bercerita, di Kuta, pernah ada salah satu dari warga yang nekat membangun rumah tembok sebagai tempat berjualan. Dia dan para sesepuh sudah memberi peringatan, tetapi tak digubris. “Tidak berapa lama, warung itu tutup karena karena merugi. Warung-warung yang di Jakarta milik orang yang sama kemudian juga ikut-ikutan bangkrut.” Ujarnya.

Di beberapa kampung lain, mulai berdiri bangunan-bangunan tembok. Jika tidak untuk rumah,bangunan dibuat untuk tempat mandi atau jamban.. konon, pendirian rumah bertembok yang makin marak inilah yang menjadi salah satu alasan kepindahan Abah Anom dan warganya lewat wangsit dari Ciptarasa ke Ciptagelar satu dekade silam.

Pamali, dengan caranya sendiri, terbukti ampuh menjadi alat pencegah perusakan lingkungan dan tata nilai. Menurut Jacob, menjadi tugas manusia modern sekarang ini untuk menafsirkan kearifan-kearifan lokal secara keilmuan. Sayangnya, tugas penafsiran itu terlalu sering gagal ditunaikan. (Ag, Tri Joko Her Riadi/”PR”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar