(Oleh: H. Usep Romli, Pikiran Rakyat)
Suatu ketika, dua tokoh bangsawan Arab, Uyainah bin Hashan al Fazari dan Al aqra bin Habis, hendak datang menemui Rasulullah saw. namun, mereka urung mendekat ketika Rasulullah saw. sedang duduk-duduk bersama para sahabat yang mereka anggap tidak sederajat, karena merupakan orang-orang miskin dan bekas budak belian.
Yang mereka maksud mantan budak belian adalah Ammar, Suhaib, dan Khabbab Ibnu Arrat, yang memang selalu memanfaatkan waktu senggang untuk mendengarkan nasihat-nasihat Rasulullah saw.
Atas perintah Rasulullah, Khabbab Ibnu Arrat mencari tahu, mengapa dua tokoh kaum musyikin itu setiap sengaja datang, tidak mau mendekat, bahkan pergi lagi tanpa basa basi. “Mereka memang bermaksud menemui tuan, ya Rasulullah. Akan tetapi, mereka malu jika mereka harus duduk-duduk pula bersama kami.” Ujar Khabbab melapor.
“Jadi harus bagaimana?” tanya Rasulullah.
“Mereka meminta, agar tuan menyuruh kami pergi, begitu mereka datang, ke sini,” jawab Khabbab.
Rasulullah saw. terdiam agak lama. Hingga beberapa saat kemudian, datang utusan para pembesar itu. Mereka menyampaikan pesan bahwa Uyainah dan Aqra akan berkunjung, dengan syarat para sahabat yang miskin-miskin dan hina dina itu, harus disuruh pergi jauh.
“Boleh, tetapi harus ada persyaratan tertulis, agar sahabat-sahabat kami mengetahui permintaan tersebut,” jawab Rasulullah saw.
Utusan tersebut menyetujui. Lalu Rasulullah saw. memanggil Ali bin Abi Thalib, meminta secarik kertas dan menugaskan untuk membuat pernyataan sesuai dengan permintaan utusa bangsawan Arab itu.
Saat itu, tiba-tiba datanglah Malaikat Jibril, membawa wahyu Allah SWT, yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabnya di pagi dan petang hari, sedangkan mereka mengharap keridaan-Nya. Kamu tidak memikul sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka sehingga kamu termasuk orang-orang zalim. Dan demikianlah, Kami telah menguji sebagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebagian orang-orang miskin itu), supaya (orang-orang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugrah oleh Allah kepada mereka? (Allah berfirman), “Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersykur (kepada-Nya)? Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat K ami itu datang kepadamu, katakanlah, ‘Salamun alaikum, Rabmu telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu) barang siapa bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS al An’am: 52-55).
Maka Rasulullah saw. melemparkan kertas itu seraya memanggil para sahabat yang dari tadi sudah menjauh. Ketika para sahabat miskin itu datang, beliau mengucapkan “Salamun alaikum” (sejahtera atas sekalian).
“Mari mendekat ke sini,” ajak Rasulullah saw.
Lalu para sahabat tadi duduk perapat sehingga lutut-lutut mereka bersinggungan dengan lutut Rasulullah saw.
Ketika Rasulullah saw. berdiri, hendak mengerjakan urusan lain, turun pula ayat:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabnya di pagi dan petang hari mengharap keridaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharap perhiasaan kehidupan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya itu melewati batas” (QS al Kahfi: 128).
Sejak itu Rasulullah saw. selalu menyempatkan dari duduk-duduk bersama para sahabat tadi, sebelum atau sesuadah melaksanakan tugas lain.
–Sumber “Hilyatul Aulia” Abu Nu’aim Asfahani--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar