Rabu, 12 Mei 2010

Pulau Terdepan yang Terus Merana

Salah satu tugu yang menjadi penanda di Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Masyarakat di pulau yang berbatasan dengan wilayah Mindanao, Filipina Selatan, itu mengeluhkan pasokan bahan bakar minyak dan kebutuhan pokok yang terbatas. Gambar diambil Sabtu (1/5). (Foto: KOMPAS/Ferry Santoso)

Oleh FERRY SANTOSO

12 Mei 2010 -- Jarak ibu kota Sulawesi Utara, Manado, dengan Pulau Miangas, pulau terdepan di Kabupaten Kepulauan Talaud, yang berbatasan dengan wilayah Mindanao, Filipina, mencapai 270 nautical mile atau sekitar 486 kilometer. Sebagai perbandingan, jarak Jakarta-Semarang, Jawa Tengah, sekitar 540 kilometer.

Akan tetapi, ada perbedaan mencolok antara jarak Manado-Miangas dan Jakarta-Semarang. Jakarta-Semarang dapat ditempuh setiap saat dengan berbagai kendaraan, dari motor sampai bus. Namun, jarak Manado-Miangas hanya dapat ditempuh dengan kapal laut selama belasan jam. Itu pun tidak setiap waktu ada kapal melayari rute tersebut. Lapangan terbang belum ada. Dalam keadaan darurat, paling-paling helikopter yang bisa mendarat.

Transportasi yang terbatas menjadi kendala besar dalam pengelolaan pulau-pulau di perbatasan. Dengan keterbatasan transportasi, perdagangan antarpulau dan mobilitas penduduk sulit bergerak. Pasokan kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak kurang lancar. Harga kebutuhan pokok dan bahan bakar pun tinggi. Wilayah tersebut terisolasi dan merana.

Sebagian besar masyarakat di Pulau Miangas—berpenduduk sekitar 700 jiwa—mengeluhkan pasokan kebutuhan bahan pokok dan bahan bakar yang minim serta harganya yang tinggi. Harga minyak tanah mencapai Rp 7.500 per liter dan harga bensin Rp 15.000 per liter. ”Ada juga yang menjual Rp 17.500 per liter,” kata Arfan (32), penduduk Pulau Miangas. Harga gula mencapai Rp 15.000 per kg.

Ironisnya, dengan biaya kebutuhan pokok yang tinggi, mata pencarian penduduk pun tak menentu. Mata pencarian sebagai nelayan atau petani sulit diandalkan. Mencari ikan tidak dapat diandalkan karena keterbatasan pasokan bahan bakar untuk kebutuhan perahu.

Ketua Badan Perwakilan Masyarakat Desa Miangas Pengasihan Ronny Wuon mengatakan, masyarakat yang membawa jeriken-jeriken minyak yang dibeli dari Kabupaten Talaud atau Kabupaten Sangihe, di kapal-kapal perintis, dilarang. Akibatnya, nelayan yang ingin mencari ikan dengan perahu-perahu kecil sekalipun, sulit mendapatkan solar atau bensin.

Mengandalkan sektor pertanian untuk menopang penghidupan juga tidak mudah. Arfan mengungkapkan, harga kopra di Pulau Miangas Rp 2.500 per kg. Jika kopra berhasil dikumpulkan empat karung dengan masing-masing berat 30 kg per karung, jumlah pendapatan sebesar Rp 300.000.

”Namun, biaya transportasi terlalu tinggi sehingga tidak ada untung sama sekali,” kata Arfan. Harga tiket kapal perintis saja sudah mencapai Rp 85.000 sekali jalan. ”Itu belum termasuk biaya makan di perjalanan,” kata Arfan.

Oleh karena itu, menurut Arfan, berbagai pekerjaan sambilan harus dilakukan untuk menambah penghasilan. Misalnya, mencari berbagai jenis kerang, baik besar maupun kecil, untuk dijual. ”Kulit kerang dapat dijadikan hiasan,” katanya. Kalau ada pembeli, mereka mendapatkan uang.

Listrik

Hambatan transportasi dan bahan bakar tidak hanya mempersulit penduduk. Hambatan transportasi juga membuat infrastruktur listrik terbatas. Mesin pembangkit tidak dapat digerakkan sepenuhnya sehingga aliran listrik ke rumah-rumah penduduk berkurang.

Penerangan listrik di Miangas hanya berlangsung enam jam per hari. ”Listrik hanya menyala dari pukul 18.00 sampai pukul 24.00,” kata Arfan. Di luar jam itu, listrik mati. Namun, beberapa rumah penduduk mengandalkan listrik dari tenaga surya dengan daya yang rendah pada siang hari.

General Manager PT PLN Sulut Wirabumi mengatakan, kapasitas terpasang listrik di Pulau Miangas sebesar 2 x 40 kilowatt (kW). Namun, utilisasi hanya sebesar 26 kW. Ia mengakui, penerangan listrik hanya enam jam per hari. Hal itu dapat terjadi karena pengadaan listrik saat ini di Pulau Miangas kurang memiliki nilai ekonomis. ”Bayangkan saja, penerimaan uang dari pelanggan di Miangas hanya Rp 3,5 juta per bulan,” katanya.

Padahal, menurut Wirabumi, PLN harus mengeluarkan setidaknya Rp 100 juta untuk bahan bakar solar dan transportasi solar untuk mesin pembangkit di Pulau Miangas, termasuk beberapa pulau lain. Menurut Wirabumi, PLN memasok solar untuk mesin pembangkit di Pulau Miangas per tiga bulan. Pasokan solar di Miangas per bulan sebanyak 13 ton.

Persoalan sosial dan ekonomi, seperti keterbatasan transportasi, pasokan kebutuhan pokok, bahar bakar, listrik, dan telekomunikasi, tidak hanya dialami penduduk di Pulau Miangas, tetapi juga di pulau-pulau terluar lain, seperti Marore, Kabupaten Talaud, bahkan di hampir semua pulau terdepan, seperti di Pulau Laut atau Sekatung, Kepulauan Riau.

Untuk lebih menjawab persoalan sosial dan ekonomi di pulau-pulau terluar itu, pemerintah pun terus-menerus berupaya. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, dalam kunjungan ke Pulau Miangas dan Marore, Sulut, Sabtu (1/5), mengatakan, pemerintah segera membentuk Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan.

Badan itu akan mengoordinasikan kebijakan antarinstansi untuk pengelolaan wilayah perbatasan. Badan itu berada di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Melalui badan itu, diharapkan pengelolaan wilayah perbatasan dapat dilakukan lebih cepat.

Misalnya, menangani masalah transportasi, pasokan kebutuhan pokok dan bahan bakar, telekomunikasi, serta infrastruktur dasar, seperti listrik, di wilayah perbatasan. Namun, ke depan, perlu dilihat lagi sejauh mana badan itu dapat bekerja efektif untuk pengelolaan wilayah perbatasan.

Terkait penanganan masalah perbatasan, khususnya di Pulau Miangas, Gubernur Sulut Sarundajang mengungkapkan, pemerintah daerah berencana membangun bandara di Pulau Miangas. Dengan tersedianya bandara itu, diharapkan pasokan logistik dan mobilitas penduduk dapat lebih terbuka.

Bandara yang akan dibangun, menurut Sarundajang, berada di atas lahan seluas 14 hektar dengan nilai pembangunan sebesar Rp 30 miliar sampai Rp 40 miliar. Namun, saat ini, masih ada kendala pembebasan lahan dengan perkiraan anggaran sebesar Rp 15 miliar. Jadi, masih lamakah Miangas merana?

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar