Minggu, 24 Januari 2010

Pilot F-16, Berpikir Simultan dalam Sepersekian Detik

Pilot pesawat tempur bersiap menerbangkan pesawat F-16 dari hanggar Skuadron Udara 3 TNI Angkatan Udara di Pangkalan Udara Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur, Rabu (30/12). (Foto: KOMPAS/Riza Fathoni)

25 Januari 2010 -- Dragon, begitu nama sebutan bagi para pilot F-16 Fighting Falcon di Skuadron Udara 3, Wing 3, Pangkalan TNI AU (Lanud) Iswahjudi ini. Konon, nama itu dipilih gara-gara naga dianggap bandel dan punya api. Dan begitulah kesan tentang mereka, militan bahkan bisa dibilang nekat.

Jangan tanya jumlah mereka, karena itu salah satu rahasia negara. Anggap saja jumlah mereka ada beberapa belas orang. Salah satu ruangan di Skuadron 3 ini juga tidak boleh dimasuki orang luar karena berisi tabel jadwal latihan mereka beserta manuver-manuver yang dilatih. ”Orang boleh tahu berapa jumlah pesawat kita. Akan tetapi, justru berapa jumlah pilot dan apa keahlian mereka masing-masing, nah itu sebenarnya kekuatan kita,” kata Letkol Fajar ”Redwolf” Adriyanto, Komandan Skuadron Udara 3 Lanud Iswahjudi.

Walaupun latihan mereka mengikuti silabus dengan program tertentu, setiap pilot memiliki kekhasan yang kemudian menjadi kekuatannya. Salah seorang pilot menggemari seni mahir dalam manuver-manuver rumit karena daya imajinasinya tinggi. Pilot yang tenang akan maju untuk penyerangan yang membutuhkan ketelitian tinggi seperti mengebom sasaran di darat.

Sekilas, ciri khas setiap pilot ini bisa dilihat dari call sign alias nama panggilan mereka. Nama itu biasanya diberikan komandan atau pelatih yang melihat karakteristik muridnya. Nama diambil dari nama hewan, seperti Letkol Ian ”Hyena” Fuadi, Mayor Ali ”Unicorn” Sudibyo, Mayor Setiawan ”Gryphon”, dan Mayor Firman ”Foxhound” Dwi Cahyono.

”Setiap hari rasanya seperti ujian,” kata Letda Ferry Rachman, siswa transisi angkatan terbaru. Walaupun menjadi salah satu lulusan terbaik Sekolah Penerbang, Ferry yang tahun ini genap berusia 25 tahun itu mengaku harus bekerja keras. Selain adaptasi, ada hal-hal yang baru seperti keterampilan basic fighter manuver atau air combat manuver dan kecepatan mengambil keputusan. ”Di sini harus lebih kerja keras, soalnya di sini semuanya sama hebatnya,” tuturnya di sela-sela makan malam di warung sop buntut kesukaannya di pasar di Madiun.

Selain sehat—termasuk tanpa gigi berlubang dan mata minus—prestasi akademik calon pilot F-16 harus unggul juga. Setelah lulus tentunya dengan nilai memuaskan dari Akademi Angkatan Udara, tahap berikutnya adalah Sekolah Penerbang. Hanya 5-10 lulusan terbaik Sekolah Penerbang yang boleh menjadi pilot pesawat tempur. Dari lulusan terbaik itu, biasanya tiap tahun peringkat pertama dan kedua masuk ke Skuadron 3 untuk dilatih menjadi pilot F-16. ”Di sini memang kawah candradimuka,” cerita Fajar.

Belajar dan bekerja keras

Hari-hari para dragon ini memang dipenuhi belajar dan bekerja keras. Pengetahuan awal yang harus dikuasai seorang pilot F-16 adalah karakteristik mesin pesawat yang akan ia gunakan. Setelah itu baru ilmu perang, manuver, dan hal-hal yang menyertainya, seperti penggunaan bahan bakar hingga faktor legal. ”Seperti waktu kita cegat pesawat tempur AS. Kita harus punya dasar legal dan tahu bahwa mereka tidak meratifikasi UNCLOS 1982,” kata Fajar.

Malam-malam, mereka harus mempersiapkan manuver yang akan dilaksanakan besok. Bagi siswa transisi seperti Ferry, keesokan harinya mereka mencoba pengetahuan barunya di simulator. Sering kali instruktur memberikan situasi darurat seperti mesin yang tiba-tiba mati. ”Yang penting adalah bagaimana bereaksi saat emergency,” kata Mayor Sondhi selaku kepala fasilitas latihan.

Setelah berbulan-bulan berlatih dengan simulator, saat yang paling ditunggu adalah ketika instruktur menyatakan pilot transisi sudah layak terbang dengan F-16. Tahap membanggakan selanjutnya adalah saat sudah boleh terbang solo dengan F-16. Tradisinya, telur akan dipecahkan di kepalanya setelah itu dia diguyur ramai-ramai. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menjadi wingman hingga element leader, flight leader, instruktur penerbang, dan pilot tes yang masing-masing memiliki kemampuan untuk memimpin sejumlah pesawat.

Untuk membawa pesawat tentu dibutuhkan keahlian dan keterampilan. Namun, memimpin beberapa pesawat membutuhkan kemampuan yang kompleks. Algoritma berpikir jika A maka B bisa berlapis-lapis. Sebagai pemimpin, seorang pilot harus bisa memetakan di mana posisi pesawat timnya serta di mana mereka berada detik berikutnya. Ia juga harus mengenal karakter anggota timnya.

Itu harus dipikirkan, sementara sang pilot tengah mengalami tekanan sebesar 9 G alias sembilan kali gaya gravitasi. Ini belum termasuk memikirkan strategi untuk memenuhi misi, misalnya menembak sasaran berukuran 10 meter x 10 meter dari jarak beberapa kilometer. ”Toleransi meleset yang diterima itu 5 meter,” kata Mayor Firman ”Foxhound” Dwi Cahyono, Wakil Komandan Skuadron Udara 3.

Setiap hari, para pilot F-16 ini berlatih terbang dari pukul sembilan pagi hingga sore hari. Mereka juga harus menguasai terbang di malam hari. Pasalnya, ancaman di udara bisa datang tanpa mengenal waktu. ”Biasanya malah pas lagi libur tuh ada black flight (pesawat penyusup), makanya kami harus standby selalu,” tutur Fajar. (Edna C Pattisina)

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar