(Oleh: A. Hajar Sanusi, Pikiran Rakyat)
Suatu hari di Mesir berlangsung pacuan kuda. Pesertanya sangat beragam. Mulai dari kalangan alit hingga kelompok elite. Muhammad bin Amr bin Asha adalah peserta dari kalangan masyarakat yang disebut terakhir. Ia sangat menginginkan agar kudanya menjadi pemenang.
Namun harapan itu pupus karena pemenangnya justru kuda seorang Qibti (penduduk asli Mesir). Muhammad bin Amr, yang notabene putra gubernur saat itu, tidak suka menjadi pecundang. Tidak mengherankan kalau ia marah besar. Ia memukul pemilik kuda yang menjadi pemenang itu, seraya berkata, “Ini hadiah dariku. Rasakan! Aku adalah anak orang mulia!”
Peristiwa itu diketahui sang ayah, Amr bin Ash. Ayahnya sangat khawatir kalau-kalau kejadian itu diketahui Khalifah Umar bin Khathab. Kemudian orang Qibti itu ditahan dalam penjara. Beruntung, entah bagaimana caranya, yang bersangkutan dapat meloloskan diri dan berhasil menghadap khalifah di Madinah.
Kepada khalifah, ia mengadukan nasib yang menimpa dirinya. Respons Umar kala itu, menurut Anas bin Malik, hanya berkata. “Diamlah disini!’
Umar lantas mengirim surat panggilan kepada Amr bin Ash, agar segera datang ke Madinah dengan membawa serta anaknya yang bernama Muhammad itu. Selang beberapa waktu, Gubernur Mesir itu pun sudah berada di Ibukota Negara, lengkap dengan anaknya. Tidak lama kemudian, mereka segera dihadapkan ke sidang pengadilan, yang langsung dipimpin khalifah sendiri.
Setelah segala persyaratan persidangan dianggap cukup, kemudian Umar berseru, “Mana orang Qibti itu? Mari kesini!” Setelah orang itu dihadapkan ke persidangan, Umar memerintahkan kepadanya agar memukul “anak yang mulia” itu, orang Mesir itu langsung memukul anak Amr bin Ash berkali-kali, sehingga wajahnya menampakkan perasaan sakit yang sangat.
Berikutnya Umar menyuruh orang itu agar memukul pula ayahnya, Amr bin Ash. Sebab, menurut dia, tidak mungkin anak itu berlagak arogan seperti itu jika tidak bersandar pada kekuasaan ayahnya.
Amr bin Ash terang saja ketakutan. Karena demikian halnya, ia mengiba penuh harap agar sanksi itu dicukupkan dengan menghukum anaknya saja. Harapan Amr sesuai pula dengan sikap yang diambil warga Mesir yang menjadi korban. Seraya meminta maaf, orang Qibti yang berperkara itu pun menolak perintah Umar. Alasannya, karena ia telah merasa cukup dengan membalas orang yang memukul dirinya.
Merespons sikap orang itu, Umar berkata, “Demi Allah. Sekiranya kamu ingin memukul ayah “orang mulia” itu, kami tidak akan menghalanginya, melainkan kamu sendiri yang tidak mau memukulnya.”
Setelah itu, Umar kemudian berkata, yang kini ditujukan kepada Amr bin Ash sendiri, Mata ta’abbadtum al-nas wa qad waladat hum ummahatuhum ahrra (sejak kapan wahai Amr engkau memperbudak manusia. Padahal sesungguhnya ibu mereka telah melahirkannya dalam keadaan merdeka).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar