(Oleh: H. Usep Romli H.M., Pikiran Rakyat)
Tsauban, maula (orang yang diperwakilkan) Rasulullah saw. mengisahkan beberapa peristiwa mengandung hikmah, yang dialami bersama Rasulullah saw. Antara lain, pada suatu hari, Rasulullah saw. mendoakan semua keluarganya, termasuk Fatimah, dan lain-lain.
Tsauban bertanya, “Ya Nabiyullah, apakah saya juga termasuk yang tuan doakan bersama anggota keluarga tuan yang mulia itu? “Ya, Tsauban, jawan Rasulullah. “Selama engkau hidup mandiri, tidak berdiri di depan pintu rumah orang untuk meminta-minta, dan menengadahkan tangan ke hadapan seorang amir (penguasa) memohon sesuatu.”
Beberapa waktu setelah terjadi Perang Uhud pada tahun ketiga Hijrah, kaum muslimin Madinah dilanda kesedihan mendalam. Mereka kehilangan tujuh puluh sahabat, saudara, dan kenalan dekat, di antaranya Hamzah bin Abdul Mutalib, yang bergelar “Singa Allah”.
Semua itu terjadi akibat sebagian pasukan Islam mengabaikan perintah Rasulullah saw. terutama pasukan artileri (pemanah) yang ditempatkan di Bukit Rumat, di sisi Padang Uhud tempat pertempuran berkecamuk.
“Siagalah di situ, menjaga pasukan musuh yang kemungkinan masuk dari arah belakang,” demikian instruksi Rasulullah saw., yang terjun langsung memimpin pasukan infantri berlaga melawan pasukan kafir Quraisy.
Strategi itu sangat tepat, pasukan kavaleri Quraisy pimpinan Khalid Walid, tidak dapat masuk memberi bantuan. Mereka tertahan oleh pasukan artileri Muslim dengan tembakan panahnya yang terarah ke sasaran. Bahkan, ketika pasukan ontaneri Quraisy terdesak ke kaki Gunung Uhud.
Pertempuran usai sudah dengan kemenangan pasukan Islam. Pasukan Quraisy berlarian menyelamatkan diri ke lereng Gunung Uhud. Mereka meninggalkan segala harta milik mereka, pedang, tombak, tameng, kuda, serta perhiasan dan segala simbol kemegahan militer yang lazim dibawa ke medan perang kala itu.
Sambil mengejar sisa-sisa pasukan yang masih mencoba melawan atau bertahan, pasukan Islam mengumpulkan ganimah, harta rampasan perang yang berserak-serak di antara mayat bergelimpangan dan genangan darah.
Tiba-tiba pasukan artileri di Bukit Rumat tergoda oleh limpahan ganimah. Mereka lupa terhadap kewajiban menjaga posisi belakang. Apalagi pasokan kavaleri Khalid bin Walid sudah tidak kelihatan. Mereka menduga pasukan Khalid sudah kabur duluan setelah melihat kekalahan telak pasukan Quraisy.
Maka, mereka segera berhamburan turun. Ikut menyerbu ganimah. Saat itulah pasukan berkuda Khalid yang ternyata bersembunyi di balik pohon-pohon kurma, datang menerjang. Pasukan Islam sangat terkejut. Kalang kabut memberikan perlawanan seadanya. Gugurlah 70 prajurit. Rasulullah saw. sendiri terluka, dua giginya tanggal kena lemparan senjata.
Konsolidasi pasukan seadanya Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Talib, berhasil menangkal kekalahan lebih telak, kepulangan ke Madinah, diiringi dukacita mendalam.
Beberapa orang Muhajirin berkata, “Seandainya kita tahu apa harta paling berharga daripada emas perak, niscaya kekalahan di Uhud tidak akan terjadi. Kita tidak akan turun dari bukit, untuk ikut memburu ganimah.”
Mendengar hal itu, Umar yang berada dekat mereka, menyatakan, “Perbincangan kalian akan ditanyakan kepada Rasulullah saw.”
Umar segera mencari Rasulullah saw. yang sedang berjalan diiringi Tsauban. Setelah bertemu, Umar menyampaikan segala apa yang dipermasalahkan para Muhajirin veteran Perang Uhud tadi.
Sambil tersenyum, Rasulullah menjawab, “Harta yang lebih berharga daripada emas dan perak, adalah apabila kalian memiliki lidah yang selalu menyebut nama Allah, qalbu yang selalu bersyukur, dan seorang istri mukminah yang mendorong kalian untuk tetap menjadi orang mukmin.
--Sumber, “Hilyatul Aulia” karya Abu Na’aim--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar