(Oleh: A. Hajar Sanusi, Pikiran Rakyat)
Jika ditilik dari sudut siapa yang bertarung, sejatinya Perang Tabuk dan Perang Yarmuk tidak ada perbedaan. Keduanya merupakan arena pertempuran antara para pembela kebenaran dan pendukung kebatilan. Milisi Muslim melawan tentara Romawi. Persamaan lain adalah keduanya dimenangi kaum Muslim dengan personil lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah tentara musuh.
Islam, sebagaimana diketahui, baru mengizinkan perang manakala keselamatan kaum Muslim dan kedaulatan negarinya berada dalam ancaman. Karena demikian halnya , baik Perang Tabuk maupun Perang Yarmuk pada hakikatnya lebiih bersifat defensif daripada ofensif.
Keterangan tersebut jelas tidak bermaksud menafikan nuansa perbedaan di antara keduanya. Bagaimana mungkin? Dalam kedua peperangan itu banyak hal secara signifikan berbeda. Misalnya. Perang Tabuk terjadi pada masa nubuwah dan dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. sementara Perang Yarmuk berkobar pada zaman Khalifah Umar.
Pada perang Yarmuk terdapat sejumlah sahabat senior ikut. Abu Ubaidah al-Jarah misalnya, yang juga komandan Pasukan Gabungan Milisi Muslim.
Sebelum perang dimulai, sejalan pula dengan Etika Islam, sang komandan menawarkan kepada pihak lawan tiga hal. Pertama, menerima ajaran bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw. adalah Rasulullah. Jika seruan ini mereka terima, dengan sendirinya mereka menjadi anggota persaudaraan Muslim; kedua, apabila tawaran itu ditolak mereka diwajibkan membayar jizyah yang berfungsi sebagai pajak perlindungan; ketiga, seandainya mereka menolak usulan pertama dan kedua, alternatifnya adalah perang. Tentara Romawi ternyata memilih arternatif ketiga. Akhirnya, perang pun tidak tidak dapat dielakkan.
Pada saat fajar menyingsing, tentara Romawi mulai bergerak maju. Dengan kekuatan pasukan yang berjumlah tidak kurang dari 250.000 personil, diperkuat pula dengan semangat menyala-nyala dan kemahiran bertempur dahsyat, sempat membuat sebagian tentara Muslim, yang berjumlah 35.000 orang agak terkejut.
Perang berkecamuk dengan kegarangan dan keganasan yang tidak terlukisakan. Pembantaian manusia berlangsung sedemikian rupa. Tidak seorang pun ahli sejarah dapat mencatat secara pasti, berapa prajurit dari masing-masing pasukan menjadi korban. Thabari dan Azdi memperkirakan seratus ribu orang dari pasukan Romawi. Bladzuri menyebut sekitar 70.000 orang saja. Sementara prajurit milisi Muslim yang gugur hanya tiga ribu orang.
Ada hal yang menarik untuk dicatat, sebagaiman dilaporkan pakar tafsir dan sejarah Ibn Katsir, tatkala pertempuran berakhir, tentara Muslim yang selamat segera mengurus mayat rekan-rekan mereka yang gugur dan memberikan pertolongan kepada prajurit yang luka-luka.
Mungkin karena lukanya yang kelewat parah, mereka dilanda kehausan yang sangat. Tidak heran kalau kemudian mereka minta diberi air minum. Namun, saat prajurit yang kehausan itu mau memuaskan dahaganya, terdengar olehnya suara prajurit lain juga yang minta minum. Dia tidak jadi meneguk air itu. Dia lantas menyerahkan air itu seraya berkata, “Berikan saja air ini kepadanya. Dia lebih memerlukan daripadaku!” Hal demkian itu berlanjut hingga mencapai tujuh orang.
Ketika para petugas bergerak menghampiri peminta terakhir, mereka sangat menyeseal karena dia telah meninggal dunia. Dengan segera mereka kembali mendekati prajurit yang palingdahulu meminta air. Namun terlambat, karena prajurit itu pun sudah menghembuskan napas terakhir.
Sungguh mengharukan! Dalam kehidupan yang sudah berada di tepi ajal, mereka masih peduli akan kebutuhan orang lain. Betapa mulia hati mereka. Bagaimana dengan kita?
( Ketua MUI Kec. Kiaracondong, Kota Bandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar