(Oleh: Hj. Nunung Karwati, Pikiran Rakyat)
Suatu kenyataan yang membuat hati miris telah terjadi beberapa tahun belakangan ini. Puluhan pejabat publik banyak dijebloskan ke penjara karena melakukan korupsi uang negara dengan motif yang bermacam-macam.
Bila merujuk semua itu, bisa ditarik benang merah bahwa mereka melakukan penyelewengan terhadap kewenangan yang mereka emban. Mungkin ada baiknya para pejabat di Indonesia belajar pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dia menjadi khalifah pada usia 37 tahun dan memerintah pada tahun 99 H.
Pada saat diangkat menjadi khalifah, Umar justru menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menginginkan posisi khalifah. Oleh karena itu, di hadapan rakyat sesaat setelah dibaiat ia berkata, “Saudara-saudara sekalian, saat ini saya batalkan pembaiatan yang saudara-saudara berikan kepada saya, dan pilihlah sendiri khalifah yang kalian inginkan selain saya.” Akan tetapi, rakyat tetap pada keputusannya membaiat Umar bin Abdul Aziz.
Sebagai seorang keturunan Al Faruq Umar bin Khathab, Umar bin Abdul Aziz memiliki kesamaan sifar dengan kakek buyutnya itu. Setelah menjadi khalifah, Umar segera menetapkan beberapa kebijakan yang tidak biasa dilakukan raja-raja Dinasti Umayyah sebelumnya.
Kebijakan pertama yang diambil adalah menolak kendaraan dinas. Umar memilih menggunakan unta miliknya, dibandingkan dengan unta dinas yang berikan negara. “Bawa unta itu ke pasar dan juallah, lalu hasilnya penjualan simpan di baitull mal. Saya cukup naik hewan tunggangan milik sendiri,” ujarnya.
Amir bin Muhajir menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz akan menyalakan lampu milik umum jika pekerjaannya berhubungan dengan kepentingan kaum Muslimin. Ketika urusan kaum Muslimin selesai, maka dia akan memadamkannya dan segera menyalakan lampu miliknya sendiri.
Khalifah Umar juga tidak gila harta. Sebelum menjadi khalifah keluarganya memiliki kebun kurma yang memberikan penghasilan 50.000 dinar setiap tahunnya Abu Ja’far al-Manshur pernah bertanya kepada Abdul Aziz tentang kekayaan Umar bin Abdul Aziz.
“Berapa kekayaan ayahmu saat mulai menjabat sebagai khalifah?” Abdul Aziz menjawab, “40.000 dinar.” Ja’far bertanya lagi. “Lalu berapa kekayaan ayahmu saat meninggal dunia? Jawab Abdul Aziz, “400 dinar. Itu pun kalau belum berkurang.” Bukannya bertambah, harta khalifah justru berkurang.
Bahkan, suatu ketika Maslamah bin Abdul Malik menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit. Maslamah melihat pakaian Umar sangat kotor. Ia berkata kepada istri Umar, “Tidakkah engkau cuci bajunya?” Fatimah menjawab, “Demi Allah, dia tidak memiliki pakaian lain selain yang ia pakai.”
Ketika salat Jumat di mesjid, salah seorang jemaah bertanya, “Wahai amirulmukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu kenikamatan. Mengapa tak mau engkau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz berkata, “Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya dan sebaik-baiknya pengampunan pada saat kita berada pada posisi kuat.”
Seorang pelayan Umar, Abu Umayyah al-Khashy berkata, “Saya datang menemui istri khalifah dan dia memberiku makan siang dengan kacang adas, saya katakan kepadanya, “Apakah setiap hari tuan makan dengan kacang adas?” Fatimah menjawab, “Wahai anakku, inilah makanan tuanmu amirulmukminin.” Amr bin Muhajir berkata, “Uang belanja Umar bin Abdul Aziz setiap harinya hanya 2 dirham.”
Wahib al-Wadud mengisahkan, suatu hari beberapa kerabat Umar bin Abdul Aziz dari Bani Marwan datang, tetapi Umar tak bisa menemui mereka. Lalu mereka menyampaikan pesan lewat Abdul Malik. “Tolong katakan kepada Ayahmu bahwa para khalifah terdahulu selalu memberi keistimewaan dan uang kepada kami, karena mereka tahu kedudukan kami. Sementara ayahmu kini telah menghapusnya.”
Abdul Malik menemui ayahnya. Setelah kembali. Abdul Malik menyampaikan jawaban Umar bin Abdul Aziz kepada mereka, “Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar, jika aku mendurhakai Tuhanku. “Itu adalah kutipan surat Al-an’am ayat 15. bila semua pejabat kita seperti ini, tidak akan ada perilaku nepotisme di negara kita.
Amr bin Muhajir meriwayatkan, suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin makan apel, kemudian salah seorang anggota keluarganya memberi apel yang diinginkan. Lalu Umar berkata. “Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya kepadanya bahwa hadiah
Yang dikirim telah sampai”
“Wahai amirulmukminn, orang yang memberi hadiah apel itu tak lain adalah sepupumu sendiri dan salah seorang yang masih memiliki hubungan kerabat yang sangat dekat denganmu. Bukankah Rasulullah saw. juga menerima hadiah yang diberi orang lain kepadanya?”
Umar bin Abdul Aziz menjawab, ”Celaka kamu, sesungguhnya hadiah yang diberikan kepada Rasulullah saw. adalah benar-benar hadiah, sedangkan yang diberikan kepadaku ini adalah suap.”
Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sangat memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan tegaknya keadilan Fatimah binti Abdul Malik pernah menemukan suaminya sedang menangis di tempat biasa Umar melaksanakan salat sunah. Fatimah berusaha membesarkan hatinya. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Wahai Fatimah, sesungguhnya saya memikul beban umat Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Dan saya memikirkan persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dan tersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orang yang tersisihkan, yang teraniaya dan terintimidasi, yang terasing, dan tertawan dalam perbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat tetapi hartanya sedikit, dan orang-orang serupa dengan itu di seluruh pelosok negeri. Saya tahu dan saya sadar bahwa Tuhanku kelak akan menanyakan hal ini pada hari kiamat. Saya khawatir saat itu saya tidak memiliki alasan yang kuat di hadapan Tuhanku. Itulah yang membuatku menangis.”
Sikapnya yang zuhud serta kepeduliannya kepada rakyat telah mengantarkan pemerintahan Umar mencapai sukses yang luar biasa. Umar bin Abdul Aziz kurang dari dua tahun menjadi khalifah. Namun pencapainya sangat luar biasa. Rakyat hidup sejahtera. Sebagai ilustrasi kesejahteraan itu, Umar bin Usaid berkata, “Demi Allah, Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal dunia hingga seorang laki-laki datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam jumlah besar dan berkata, “Salurkan harta ini sesuai dengan kehendakmu.” Ternyata tak ada seorang pun yang berhak menerimanya. Sungguh Umar bun Abdul Aziz telah membuat manusia hidup berkecukupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar