Peresmian Border Sign Post Indonesia-Timor Leste. (Foto: bakosurtanal)
24 Pebruari 2010, Kupang -- Pemasangan patok batas wilayah negara antara Indonesia dan Timor Leste oleh lembaga mana pun harus melibatkan tokoh masyarakat adat di Timor bagian barat.
"Mereka mengetahui sejarah pembagian wilayah antara Belanda dan Portugis ketika menguasai Pulau Timor di zaman penjajahan." kata pengamat masalah perbatasan, John Bernando Seran, ketika dihubungi dari Kupang, Selasa malam.
Dia mengatakan, pengabaian terhadap peran tokoh masyarakat bisa menimbulkan kesalahan seperti yang terjadi di perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Distrik Ambenu, Timor Leste.
Di perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Distrik Ambenu Timor Leste, dilakukan pemancangan tiang oleh TNI, namun patok batas negara itu justru merugikan Indonesia, karena tiang pancang itu menjorok masuk sekitar 500 meter ke wilayah Indonesia, tepat di Desa Sunsea, Kecamatan Naibenu.
Menurut Bernando, kekeliruan pemancangan tiang terjadi karena tidak ada koordinasi dengan pemerintah kabupaten dan tokoh masyarakat. Sebenarnya, kata dia, banyak tokoh masyarakat yang mengetahui dengan benar batas yang dipatok oleh penjajah Belanda dan Portugis yang masing-masing menguasai wilayah Timor bagian barat dan Timor bagian timur yang kini telah menjadi negara Timor Leste.
Keluhan senada juga disampaikan oleh anggota DPD RI dari Nusa Tenggara Timur Sarah Lery Mboeik yang tengah melakukan kunjungan ke perbatasan Timor Tengah Utara dengan Distrik Ambenu.
Ketika dikontak pada Selasa petang, Mboeik mengatakan, dia akan membawa persoalan di perbatasan tersebut ke pemerintah pusat, untuk segera mencarikan jalan keluar.
Selain kasus patok batas negara, katanya, juga klaim atas areal pertanian sekitar enam hektare oleh warga Distrik Ambenu dan memicu konflik dengan masyarakat di Desa Obe, Kecamatan Bikomi Nunulat.
Menurut dia, jika pemerintah tidak segera campur tangan, konflik antarwarga di perbatasan kedua negara bisa pecah sewaktu-waktu.
Baik Bernando maupun Mboeik sepakat, pemerintah Indonesia dan pemerintah Timor Leste sebaiknya melanjutkan pembicaraan mengenai titik perbatasan yang masih bermasalah dengan berpatokan pada Traktat 1904, di mana penjajah Belanda dan Portugis mengukuhkan perjanjian pembagian wilayah Timor bagian barat dan Timor bagian timur.
Menurut Bernando dan Mboeik, banyak "usif" atau keturunan raja-raja lokal di Pulau Timor mengetahui sejarah pembagian wilayah oleh Belanda dan Portugal, sehingga mereka patut dilibatkan dalam pemancangan patok batas negara.
Potensi konflik lainnya adalah di perbatasan antara Kabupaten Kupang dengan Distrik Ambenu, warga seberang juga mengklaim wilayah sampai radius tertentu sebagai milik mereka dan memicu protes dari masyarakat adat di perbatasan kedua negara dalam dua tahun terakhir ini.
ANTARA News
Tidak ada komentar:
Posting Komentar