Kamis, 11 Februari 2010
Uranium Indonesia Tidak Layak Tambang
11 Februari 2010, Jakarta -- Pakar nuklir dan pemerhati Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Iwan Kurniawan menyatakan uranium yang berada di perut bumi Indonesia tidak layak ditambang. Menurut Iwan, ketebalan yang hanya setengah meter membuat uranium sulit diambil dan memerlukan biaya tinggi.
“Tidak layak secara ekonomis, kalau dipaksakan lebih banyak material lain yang dikeluarkan dari perut bumi,” katanya, dalam diskusi bertajuk Mari Bicara PLTN, di Jakarta, Kamis (11/2) sore.
Iwan mengatakan, uranium yang berada di Indonesia, yaitu di Kalimantan Barat, berbeda dengan, misalnya yang terdapat di Pakistan. “Di sana ketebalannya mencapai dua meter sehingga mudah ditambang,” ujarnya. Oleh sebab itu, Pakistan menjadi dalah satu negara yang melakukan pengayaan uranium untuk berbagai kepentingan, termasuk senjata nuklir meskipun mendapat kecaman dari dunia internasional.
Dengan kondisi seperti ini, Iwan melanjutkan, sangat tidak ekonomis buat Indonesia membangun PLTN. “Alih-alih kita mencapai kemandirian energi, yang ada justru didikte negara penyuplai uranium.” Indonesia pun belum tentu mendapat izin untuk melakukan pengayaan uranium. Walhasil, katanya, selain ancaman kesemalatan manusia dan dampak lingkungan, membangun PLTN sangat tidak masuk akal secara ekonomi.
Penjelasan Iwan soal PLTN ini membantah pernyataan mantan Presiden Habibie yang menyerukan pemerintah segera membangun PLTN. “Bila Presiden sekarang bicara kemana-mana mengenai pengurangan emisi rumah kaca, maka pembangunan PLTN merupakan satu solusi yang tepat,” kata Habibie, di Jakarta, Rabu pekan lalu. Menurut Habibie, Nuklir jauh lebih ramah lingkungan karena tak mengeluarkan berbagai emisi sebagaimana bahan bakar fosil: batubara dan minyak bumi.
Dian Abraham dari Masyarakat Antinuklir Indonesia menergaskan bahwa pemerintah tidak punya detail rencana PLTN, termasuk teknologi yang digunakannya. Ia juga menyebutkan bahwa PLTN adalah pilihan yang ditinggalkan di sejumlah negara maju karena risikonya terlalu tinggi. “Saya yakin ini adalah tekanan dari pedagang nuklir dunia, yang mengalihkan pasarnya ke negara berkembang seperti Indonesia,” kata Dian.
TEMPO Interaktif
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar