Kapal induk bertenaga nuklir Angkatan Laut Amerika Serikat, USS George Washington meramaikan Sail Bunaken yang diadakan di Teluk Manado, Sulawesi Utara, Rabu (19/8) dalam rangka HUT ke-64 Republik Indonesia. (Foto: ANTARA/ US Navy/Rajab Ritonga/ss/mes/09)
19 Agustus 2009, Manado -- Kapal induk bertenaga nuklir milik Angkatan Laut Amerika Serikat, USS George Washington meramaikan parade kapal-perang (Fleet Review) di Teluk Manado, 19 Agustus 2009.
Kehadirannya bersama 38 kapal perang, dan 158 yacht dari berbagai negara, masih diramaikan dengan flying pass pesawat tempur TNI,dan pesawat tempur Angkatan Laut AS, F-18 Hornet yang lepas landas dari USS George Washington.
Dalam parade kapal perang yang diadakan dalam rangkaian Hari Proklamasi Kemerdekaan ke-64 Republik Indonesia itu, USS George Washington menjadi primadona karena kedigdayaannya. Bahkan, untuk suksesnya parade, Teluk Manado disterilkan dari lalu lintas pelayaran.
Maklum, Amerika Serikat punya pengalaman buruk saat kapal perangnya USS Cole diserang di Aden, Yaman tahun 2000.
USS George Washington menjadi primadona karena kapal perang itu merupakan "benteng bergerak" yang dapat menjangkau seluruh pelosok dunia dengan persenjataan mutakhirnya.
Bila Amerika Serikat menghadapi suatu krisis di luar teritorinya, biasanya Presiden AS bertanya: "di mana posisi kapal induk terdekat" atau memberi perintah: "kirim Marinir" untuk mengatasi krisis yang terjadi.
Jumlah kapal AS sejenis itu ada 12 buah, tiga diantaranya kapal induk konvensional yang digerakkan dengan tenaga diesel. Harga satu kapal bertenaga nuklir sekelas George Washtingon sekitar 3,6 miliar dolar AS.
Dengan nuklir sebagai tenaga penggerak, maka kapal dapat bergerak terus-menerus selama 20 tahun tanpa harus mengisi bahan bakar sebagaimana layaknya kapal konvensional.
Dalam pelayarannya, kapal induk AS ini tidak bergerak sendirian. Pada geladaknya terdapat Carrier Air Wing (Wing Tempur Udara).
Berkekuatan 80 pesawat tempur, dan selalu dikawal dua kapal penjelajah kelas Ticonderoga yang dilengkapi peluru kendali, satu kapal perusak kelas Arleigh Burke, satu kapal perusak anti kapal selam kelas Spruance, satu fregat anti kapal selam kelas Olever Hazard Perry, dua kapal selam kelas Los Angeles, dan satu kapal suplai.
Komandan dari seluruh kekuatan tempur tersebut adalah seorang laksamana berbintang satu berada di kapal induk, sebagai kapal markas (kapal bendera) sedangkan perwira yang bertanggung jawab dalam pengoperasian kapal induk (commanding officer) atau komandan kapal, dipercayakan kepada seorang kolonel (captain).
Dengan kedigdayaannya, pantas bila kapal itu menjadi arsenal tidak tertandingi di lautan, bahkan untuk mendekatinya saja bukan perkara mudah.
Penerbang tempur TNI-AU pernah mengalaminya ketika USS Carl Vinson "kesasar" masuk perairan Bawean, Jawa Timur tanpa izin, 3 Juli 2003. Dua pesawat tempur F-16 TNI-AU yang mencoba mengindentifikasinya "diusir" lima F-18 Hornet yang lepas landas dari USS Carl Vinson.
Kapal ini juga laksana kota di lautan, sebab di dalam kapal setinggi 76 meter itu ada lebih dari 5000 jiwa manusia. Kapal tediri dari tiga lantai untuk menyimpan pesawat bila sedang tidak dipakai, atau sedang dalam perbaikan.
Berbagai fasilitas, layaknya kota juga ada di kapal itu, seperti bar, toko, barber shop, restoran, laundry, sehingga awaknya hidup laksana di daratan. Seorang asing bisa kesasar bila pertama kali berada di sana, karena luasnya kapal.
Mendarat di Kapal Induk
Sejumlah pejabat Indonesia, yakni Menteri Kelautan Freddy Numberi, Komandan Pangkalan Utama TNI-AL VIII Laksamana Pertama TNI Willem Rampangilei, Kapolda Sulut Brigjen Pol Bekto Suprapto, Ketua DPRD Sulut, Syahrial Damopolii, Selasa (18/8) berkesempatan berkunjung ke USS George Washington, menggunakan pesawat angkut ringan, C-2A Greyhound dari Bandara Sam Raturangi.
Pendaratan di kapal induk merupakan peristiwa menegangkan bagi mereka yang untuk pertamakali mengalami. Pasalnya, landasan kapal induk kelas USS George Washington, hanya sekitar 77 meter yang berada di areal dek kapal seluas 333 x 77 meter persegi.
Dari landasan itulah pesawat take-off dan landing, yang bila pilotnya tidak cermat akan berakhir di laut.
Waktu yang diperlukan untuk lepas landas hanya tiga detik sehingga pesawat harus sudah mencapai kecepatan 128 mil per jam agar bisa mengangkasa (airborne). Agar bisa mencapai kecepatan setinggi itu, empat mesin pelontar (catapult) membantu mendorong pesawat dengan tenaga uap.
Sebaliknya saat mendarat, pesawat harus berhenti dari kecepatan 105 mil perjam menjadi nol mil perjam dalam waktu dua detik.
Untuk menghentikan pesawat dalam tempo sesingkat itu, empat kawat pengait (arrester gear cable) "menggaet cantolan" yang ada di dekat roda pendarat bagian belakang, sehingga pesawat dapat berhenti sempurna di ujung landasan.
Bila gagal, maka dipastikan pesawat itu akan tercebur ke laut di haluan kapal.
Bagaimana rasanya berhenti dari kecepatan 105 menjadi nol? Badan yang terikat kuat safety belt empat titik di bangku tetap nyaman, tetapi leher terasa "terhempas" ke depan hingga dagu menyentuh dada. Saat lepas landas, leher lebih nyaman, sebab kepala tersandar aman di sandaran kursi.
Mereka yang penah mendarat dan lepas landas di kapal induk, biasanya mendapat sertifikat yang ditandatangani komandan kapal, atas keberanian mereka mengambil resiko untuk mengikuti petualangan tersebut. Dan yang pasti, tidak sembarang orang boleh mengikutinya. (Dr Rajab Ritonga)
ANTARA News
Tidak ada komentar:
Posting Komentar