Presiden SBY mencoba senapan serbu SS-2 produksi PINDAD.
30 Agustus 2009, Bandung -- Direktur Utama PT Pindad Adik Alvianto menyatakan, perusahaan pembuat senjata nasional itu selalu melengkapi dokumen penjualan dan ekspor senjata baik langsung kepada negara pemesan maupun penjualan melalui agen.
"Pindad perusahaan besar, tak mungkin gegabah dalam melakukan penjualan atau ekspor senjata. Semuanya selalu dilengkapi dengan dokumen resmi dan legal," kata Adik Alvianto ketika dihubungi ANTARA dari Bandung, Minggu.
Termasuk dalam ekspor senjata yakni senjata api genggam dan senjata serbu SS-1 yang saat ini "tertahan" dan dipermasalahkan di Filipina, menurut Adik sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang biasa ditempuh.
Menurut dia, pengiriman ratusan senjata itu dilakukan dengan perizinan baku dari Departemen Pertahanan RI dan juga melengkapi dokumen ekspor di Imigrasi.
Adik dengan tegas membantah ekspor senjata itu dilakukan ilegal karena pihaknya telah melengkapinya dengan dokumen yang resmi dan sesuai dengan prosedur ekspor senjata.
Ia menyebutkan, ekspor senjata genggam pesanan dari Perbakinnya Filipina dan senjata SS-1 untuk negara di Afrika itu melalui seorang agen yang biasa melakukan perdagangan senjata yang sudah dikenal.
Pengirimannya juga sudah mengikuti prosedur dan dokumen ekspor senjata yang berlaku.
"Bukan sekali ini saja kami mengekspor senjata. Dalam kasus ini pengiriman resmi melalui Pelabuhan Tanjung Priok, bila dokumennya tidak lengkap mungkin pihak Imigrasi tidak akan mengizinkan pengiriman itu," katanya.
Ia menegaskan, PT Pindad tidak mungkin melakukan penjualan senjata tanpa sepengetahuan pemerintah karena perusahaan pembuat senjata tersebut milik pemerintah.
Lebih lanjut, Dirut PT Pindad itu menyebutkan, ekspor senjata itu dilakukan dengan perantara agen asal Filipina yang biasa melakukan perdagangan senjata dan sudah dikenal.
Dari sisi pembayaran tidak ada kerugian bagi Pindad. Begitu barang pesanan sampai di Pelabuhan Tanjung Priok dan dikapalkan, langsung dilakukan pembayaran.
Menurut Adik, nilai ekspor senjata itu mencapai Rp1 miliar dengan harga per unit di atas penjualan untuk TNI.
"Dengan sistem penjualan SOB, jelas pembayaran tak masalah. Namun Pindad tetap mempunyai tanggung jawab moral dengan adanya kejadian ini dan kami terus mengikuti perkembangan," katanya.
Ia menyebutkan, pihaknya terus melakukan kontak dengan agen itu sekaligus menunggu permasalahan yang sebenarnya terkait senjata yang sudah dikirimkan dengan kapal berbendera Panama itu.
"Senjata genggam untuk Perbakin-nya Filipina tak menjadi masalah, tapi SS-1 untuk negara Afrika itu yang dipersoalkan," katanya.
Ia menambahkan, pihaknya masih menunggu informasi dan kemungkinan dokumen lainnya yang diperlukan.
Ia menyebutkan, ekspor senjata oleh PT Pindad dilakukan dalam rangka mengembangkan perusahaan itu dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan karyawannya.
PT Pindad, kata Adik Alvianto merupakan BUMN Strategis yang memiliki potensi besar memasarkan produknya baik di dalam maupun ke luar negeri.
Selain memproduksi senjata dan amunisi, PT Pindad juga telah mampu memproduksi panser APS 6X6 untuk TNI-AD serta memproduksi berbagai suku cadang kendaraan tempur.
Ekspor Senjata Pindad Sesuai Prosedur
Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai, Anwar Suprijadi menyatakan, senjata yang ditahan otoritas Filipina merupakan barang ekspor legal sesuai dengan prosedur kepabeanan yang dilakukan PT Pindad.
"Itu (senjata) ada pemberitahuan ekspor barang (PEB) dari Tanjung Priok, Jakarta dan diberangkatkan tanggal 10 Agustus lalu. Jadi itu semua resmi karena dokumennya lengkap," ujarnya disela kunjungan ke Pelabuhan Belawan, Minggu.
Terkait kemungkinan kesalahan persepsi di pihak bea cukai Filipina, menurut dia, hal itu bisa saja terjadi.
Hal ini dapat disebabkan kurangnya komunikasi dengan pembeli dan laporan manifes kapal yang kurang lengkap atau tidak dilaporkan dalam daftar isi muatan kapal yang diangkut.
"Muatan di kapal adalah senjata. Jika tidak dilaporkan maka jadi permasalahan," katanya.
Namun, lanjut Anwar, secara resmi PT Pindad telah mengekspor dengan persyaratan yang ditetapkan.
Kendati demikian, jika dilakukan pergantian senjata di laut, kemungkinan itu bisa saja terjadi.
"Jika di laut ada pergantian kita tidak tahu, karena pengawasan kami hanya sampai di Tanjung Priok," tegasnya.
Sebelumnya aparat bea cukai Filipina telah menahan satu kapal kargo "Capt Ufuk" di Bataan, yang mengangkut sekitar 50 senapan, pada Kamis malam (20/8).
Setelah dicek, ditemukan senapan buatan Pindad berjenis SS1-V1, beberapa perlengkapan militer lainnya, dan senjata laras panjang bermerek Israel "Galil", sejenis senjata tipe serbu yang sangat akurat dalam jarak 300-800 meter.
Selain senjata-senjata itu, aparat Filipina juga menahan 14 awak kapal dari Georgia dan Afrika.
Kapal tersebut berangkat dari Pelabuhan Georgia dan singgah di Indonesia untuk mengambil barang, sebelum kemudian berlayar ke Pelabuhan Mariveles.
Pemerintah Indonesia masih menanti konfirmasi dari pemerintah Filipina terkait dengan temuan dari kapal berbendera Panama ini.
Sedangkan juru bicara PT Pindad, Timbul Sitompul, mengatakan, sejumlah senjata yang ditemukan di Filipina itu adalah pesanan dari pemerintah Filipina dan Mali.
"Filipina memesan senjata jenis pistol P2 sebanyak sepuluh unit dan Pemerintah Mali (Afrika Selatan) memesan sejumlah senjata laras panjang SS1-V2," katanya.
Ekspor Pindad Bermasalah Ditengarai Ulah Oknum
Penyitaan senjata buatan PT Pindad oleh Aparat Filipinan diduga terjadi karena ulah oknum tertentu. Oknum tersebut diduga sengaja menyelundupkan senjata ke Filipina terkait jual beli ilegal.
"Kalau ada penyimpangan seperti sekarang ini, itu wajar ditengarai karena oknum yang menyahgunakan kewenangan," kata anggota Komisi Pertahanan DPR, Yuddy Chrisnandy kepada okezone melalui sambungan telepon, Senin (31/8/2009).
Yuddy menegaskan, kasus ini harus segera diselidiki supaya akar permasalahan bisa diketahui. Koordinasi juga, lanjutnya, perlu dilakukan oleh Departemen Pertahanan, Badan Usaha Milik Negara dan Departemen Perdagangan.
"Termasuk meminta pertanggungjawaban dari Direktur PT Pindad," sambungnya.
Ekspor bermasalah ini bermula ketika petugas Filipina menemukan 50 senapan buatan Pindad jenis SS1-V1 beserta perlengkapan militer lainnya dalam sebuah kapal di Pelabuhan Mariveles pada 20 Agustus kemarin.
Aparat Filipina lantas menahan kapal tersebut karena melihat ada aktivitas bongkar pasang muatan. Setelah dipastikan, ternyata senjata di dalam kapal adalah buatan Indonesia.
Kejadian ini menurut Yuddy terjadi akibat lemahnya sistem pengawasan terhadap pelaksanaan prosedur serta etika kelaziman yang mestinya dilakukan Departemen Pertahanan. "Perdagangan senjata mestinya atas sepengetahuan Menteri Pertahanan," tuturnya.
ANTARA News/okezone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar