Latihan bersama Detasemen Antiteror 88 Polri, Denjaka, Denbravo, dan Denkopassus. (Foto: detikFoto/Didit Tri Kertapati)
23 Agustus 2009, Jakarta -- Gembong teroris Noordin M Top harus siap menerima risiko jika ngotot menyerang Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dalam kunjungannya ke Indonesia, November mendatang. Pasalnya, Noordin saat ini ditengarai bangkrut alias tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk menjadikan Obama sebagai target serangan.
Pengamat terorisme sekaligus psikolog hipnoterapis, Mardigu Wowiek Prasantyo, Sabtu (22/8) malam, menyatakan jika Noordin ngotot menyerang kemungkinan besar dia juga akan tertangkap.
“Berdasarkan data dari rekan-rekan, kalau tertarik (menyerang) Obama maka dia (Noordin) akan turun gunung, sementara dana mereka sangat tipis saat ini. Setiap habis operasi, biasanya akan ada dropping dana. Sekarang lagi ada pengawasan ketat yang menghalangi dropping dana dari Al Qaeda. Berarti kalau dia bergerak, dia memerlukan dana,” kata Mardigu.
Mardigu yakin, Noordin Cs bakal tertangkap dalam waktu kurang dari tiga bulan. Dia yakin polisi bisa meringkus orang yang paling dicari itu sebelum Obama tiba di Indonesia. Mardigu mengklaim pihaknya sudah memiliki data tentang Noordin dengan keakuratan 60 persen.
Sayang, dia enggan membocorkan data tersebut. “Saya nggak boleh ungkap. Kami sebenarnya sudah dapat data dengan tingkat akurasi 60 persen,” kata Mardigu saat disinggung posisi Noordin saat ini.
Bagaimana menyangkut empat buronan yang diumumkan Mabes Polri? “Umumnya, kalau diumumkan berarti sudah mau dapat. Malah satu sudah kena. Untuk empat buronan itu paling kurang dari dua minggu juga sudah kena (tertangkap),” tegasnya.
Dijelaskan Mardigu, penangkapan buronan teroris rata-rata dikarenakan kesalahan mereka sendiri. Contohnya, peristiwa di Cicurug tahun 2004. Kemudian ledakan di Bandung pada 2002. “Polanya seperti itu. Begitu ada peristiwa, pasti ketangkap,” katanya.
Lebih lanjut Mardigu mengatakan bahwa kelompok-kelompok jaringan Noordin saat ini, seperti Ibrohim, Syahrir, Syaifudin Zuhri, Urwah, dan buronan lainnya, bukanlah orang baru. Mardigu menyebut mereka sebagai sleeping army (sel tidur). Dan saat ini, lanjutnya, Noordin memanfaatkan jaringan kelompok Poso setelah jaringan kelompok Ngruki berakhir.
“Masih ada kelompok Ambon, JI (Jamaah Islamiyah), alumni Afghanistan, dan alumni Mindanao yang menjadi sleeping army,” katanya. Menurut Mardigu, untuk mempersempit ruang gerak Noordin, petugas kiranya bisa memperhatikan kelompok-kelompok tersebut.
Menyangkut pemeriksaan warga negara Arab Saudi, Ali Muhammad alias Abah Ali, yang diduga merupakan anggota Al-Qaeda, Mardigu menyebut polisi kesulitan mengorek keterangan dari pria tersebut. “Dia punya defence (pertahanan) yang bagus, jadi sampai sekarang polisi belum bisa mengatakan dia ini siapa,” kata Mardigu.
Namun, polisi memang mencurigai Ali Muhammad merupakan anggota Al Qaeda. “Sepertinya dia memang sudah menyiapkan skenario kalau tertangkap bagaimana defence nya,” katanya.
Tujuh Orang Dilepas
Setelah terjadi pengeboman di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, Polri melakukan serangkaian penangkapan. Namun dari 10 orang yang ditangkap, Polri kemudian melepaskan tujuh orang karena tidak terbukti terlibat jaringan teroris Noordin M Top.
“Kami tidak pernah menyatakan menangkap seseorang. Media massa yang memberitakan penangkapan-penangkapan itu. Kami hanya memeriksa mereka untuk mengetahui apakah mereka terlibat atau tidak,” ujar Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Sulistyo Ishak, Sabtu (22/8).
Menurutnya, jika mereka tidak terlibat, langsung dikembalikan kepada keluarganya masing-masing. Dikatakan, polisi tidak mempunyai wewenang terus memeriksa mereka melebihi batas waktu 7×24 jam sesuai ketentuan Undang-Undang Antiterorisme, manakala tidak terdapat cukup bukti.
Polri membantah adanya anggapan pelepasan ketujuh orang tersebut merupakan bukti sikap kurang professional. “Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, tidak terdapat cukup bukti yang menyatakan mereka terlibat dalam kegiatan terorisme. Oleh karenanya mereka dilepas,” ungkapnya.
Tercatat Ahmadi Jenggot, warga Cilacap, sebagai orang pertama yng dibawa Densus 88 Antiteror ke Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan. Menyusul Arina, putri Ustad Bahrudin yang diduga sebagai istri Noordin M Top. Berturut-turut terdapat nama Sabil Kurniawan (kakak ipar Ibrohim) dan Muh Subhi Salam yang diringkus kemudian.
Menyusul Aris dan Indra, kakak beradik keponakan Muzahri, pemilik rumah di Temanggung (Jawa Tengah) yang digerebek Densus 88 karena diduga sebagai lokasi persembunyian Noordin. Muzahri sendiri juga ikut diringkus.
Amir Abdillah alias Ahmad Ferry juga diringkus di Semper, Jakarta, setelah dibuntuti dari Solo. Berikutnya giliran Suryana alias Yayan diringkus di rumahnya, kawasan Koja, Jakarta. Menyusul penangkapan Iwan, pemilik wartel di Kuningan, Jawa Barat, dan Ali Muhammad Abdullah, warga negara Saudi Arabia.
Hanya tiga orang yang akhirnya ditahan Densus 88 Antiteror karena dinilai terbukti terlibat kegiatan terorisme. Mereka adalah Aris, Indra, dan Amir Abdillah. Iwan Herdiansyah merupakan orang terakhir yang dilepaskan Polri, Jumat (20/8) lalu.
Iwan tidak terbukti terlibat dalam pendanaan kegiatan teroris di Indonesia. Sedangkan Ali Muhammad Abdullah yang ditangkap selang 2 hari setelah Iwan, sampai saat ini masih diperiksa Densus 88.
Sementara itu, keinginan pemerintah untuk melibatkan TNI dalam menangggulangi terorisme disambut positif kalangan DPR. Wakil Ketua Komisi I DPR Yusron Ihza Mahendra mengatakan keterlibatan TNI memiliki dasar hukum yaitu UU No 34/2004 tentang TNI. Namun diharapkan, pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) untuk mengimplementasikannya.
“Agar TNI dapat lebih aktif berperan menanggulangi, pemerintah perlu segera mengeluarkan PP untuk menjabarkan undang nudang tersebut. Hal ini juga untuk mencegah munculnya kecemasan dan reaksi yang tidak perlu dari masyarakat,” kata Yusron.
Ia menjelaskan, dalam pasal 7 UU No 34/2004 dinyatakan tugas pokok TNI terdiri dari dua yaitu operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Dalam hal operasi militer selain perang bahkan disebutkan pula tentang operasi mengatasi terorisme.
“Kecemasan yang bisa muncul di tengah masyarakat kalau TNI ikut dilibatkan yaitu kembalinya TNI seperti di masa lalu, baik dalam hal operasi militer di Aceh dan Timor Timur. Atau peran TNI yang terlalu luas dalam bidang bidang nonmiliter dan pemerintahan,” katanya.
Sebelumnya, Presiden SBY telah mengintruksikan TNI agar ikut terlibat dalam penanggulangan terorisme melalui pemaksimalan kerja struktur komando teritorial. Yusron kemudian menegaskan, sosialisasi sampai batas batas yang memungkinkan terhadap rencana pemerintah di atas, sangat diperlukan.
Operasi militer cenderung mengandung unsur unsur rahasia, sehingga tidak mungkin pemerintah dapat 100 persen transparan. “Pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme tidak harus diartikan Polri lemah dan tidak cakap. Penanggulangan terorisme memang bukan hal mudah. Adidaya Amerika Serikat sampai sekarang belum sanggup menuntaskan masalah krusial ini,” katanya.
Menurutnya, kini tiba saatnya bagi TNI dan Polri untuk lebih merapatkan barisan dalam menghadapi musuh bersama. “Namun begitu, pemerintah perlu pula menempuh langkah langkah lain, misalnya mencegah munculnya teroris teroris baru,” ujar Yusron.
SURYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar