11 Februari 2009, Jakarta -- TNI AL mendapat anggaran Rp90 miliar untuk bahan bakar operasional kapal setiap tiga bulan. Dana ini hanya mencukupi delapan hari operasi seluruh kapal yang dimiliki matra laut. Artinya, dana yang ada tak sampai 10 persen dari kebutuhan.
"Kucuran bisa lebih kecil lagi dengan rencana pemotongan anggaran pertahanan oleh Departemen Keuangan," kata Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno di Jakarta, Selasa (10/2). Dia menjelaskan, minimnya anggaran membuat TNI AL beroperasi dengan prioritas-prioritas.
Fokusnya, pengamanan wilayah perbatasan dan rawan kegiatan ilegal. Pergerakan kapal didasarkan atas data intelijen. "Optimalisasi (kinerja) intelijen wajib dilakukan," katanya.
Tedjo mencontohkan, wilayah yang tak boleh kosong adalah Ambalat. Daerah yang masih bersengketa dengan Malaysia ini dijaga lima sampai enam kapal perang sepanjang tahun. KSAL berharap, pemerintah memiliki skema baru terkait dana bahan bakar.
Selama ini, bahan bakar diberikan dalam bentuk rupiah, bukan jumlah liter. Akibatnya ketika harga solar naik, jumlahnya berkurang. Harga yang diberikan juga untuk industri, bukan subsidi.
"Ini makin memberatkan. Kami kan tugas untuk negara," kata Tedjo. Beban matra laut makin bertambah saat terjadi operasi mendadak di luar rencana, seperti bencana alam dan evakuasi kecelakaan laut. "Bahan bakar semua dibebankan ke TNI," katanya.
Kondisi ini yang membuat akumulasi tunggakan kini mencapai lebih Rp4 triliun. Kerap kali terjadi perbedaan pendapat dengan Pertamina. Contohnya, ketika kapal TNI AL berniat menyelamatkan korban KM Teratai Prima yang tenggelam, beberapa waktu silam.
"Kami tak bisa berangkat karena Pertamina menolak memberi solar," katanya. Alasannya, militer belum juga melunasi tunggakannya. Seharusnya, katanya, Pertamina berpikir untuk kepentingan bangsa yang lebih luas. Tidak semata-mata bisnis. "(Pergerakan tim) SAR tak bisa ditunda karena (urgennya) masalah kemanusiaan," kata KSAL.(jurnalnasional.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar