Minggu, 13 Maret 2011

Tak Boleh Pakai APBD


12 Maret 2011, Jakarta -- (KOMPAS): TNI tidak boleh menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pertahanan bersifat nasional dan kewajiban pemerintah pusat. ”Kalau ada serangan ke suatu daerah, itu adalah serangan terhadap seluruh bangsa,” kata pengamat militer Agus Widjojo, Jumat (11/3).

Menanggapi berita Kompas (Jumat, 11/3) tentang penggunaan APBD di Kabupaten Kutai Timur untuk kapal patroli TNI AL, Agus mengatakan, secara prinsip penggunaan APBD untuk TNI salah. Sebelumnya, Pemkab Kutai Timur memberikan bantuan satu unit kapal patroli. Kerja sama itu dianggap melawan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 66 karena TNI disebutkan hanya boleh dibiayai oleh APBN. Menurut Agus, kalau ada bantuan dari pemerintah daerah, hal itu harus dilakukan lewat pemerintah pusat (Kementerian Pertahanan).

Namun, Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan Moch Jurianto menyatakan, TNI boleh saja bekerja sama dengan instansi seperti pemda dalam rangka mempertahankan negara. Hal itu diatur dalam UU No 34/2004 tentang TNI. ”Jadi kerja sama TNI AL dengan Pemda Kutai Timur boleh, asalkan dalam menjalankan tugas tidak boleh berorientasi kedaerahan,” ujarnya.

Ia mengatakan, bentuk kerja sama itu harus dilihat dalam kerangka mengamankan potensi laut di wilayah tersebut. Oleh karena itu, kerja sama itu dianggap Jurianto mengemban misi undang-undang dalam konteks pertahanan rakyat semesta. Apalagi, ketika pemda mengalokasikan dana, itu tentunya memiliki pertimbangan akan kebutuhan daerah. ”Tentunya mereka memiliki forum untuk membahas hal itu dengan matang,” katanya.

Ia menekankan, aparat yang bertugas operasi pengamanan dan penegakan hukum di kapal tersebut juga harus berasal dari TNI AL. ”Kalau yang tidak berhubungan dengan penegakan hukum dan pengamanan, boleh dari sipil,” katanya. Namun, Jurianto memberi catatan bahwa bukan berarti kapal itu milik TNI AL.

Saat ditanya kemungkinan daerah membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) lain seperti pesawat tempur atau kapal perang, Jurianto mengatakan, ada batasan-batasan tertentu. Batasan itu ada dalam peraturan Menteri Pertahanan tentang persenjataan. ”Tapi, kalau kapal patroli masih boleh,” katanya.

Agus Widjojo mempertanyakan batasan-batasan yang menurutnya tak tepat jika didefinisikan sebagai benda. ”Coba dites, kalau kapal harus dibawa berlayar komandan kapalnya ke Maluku karena ada peristiwa, boleh enggak?” katanya.

Menurut dia, batasan dalam tata negara diatur dalam kewenangan, bukan barang per barang. Kerja sama yang dilakukan adalah dalam bentuk operasional. Namun, tidak boleh dalam bentuk pengadaan alutsista. ”Sishankamrata itu juga harus lewat pemerintah pusat, misalnya diatur lewat Komponen Cadangan, tidak bisa langsung,” ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul mengatakan, kapal dari Kutai Timur tersebut hanya pinjam-pakai dan hanya untuk patroli terbatas. Karena ada konsep keterpaduan, di kapal itu juga ada aparat sipil.

Pragmatisme Gerus Persatuan


Helikopter NBell 412 EP produksi PT Dirgantara Indonesia diserahkan kepada TNI AD yang diterima Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen TNI Suryo Prabowo di Pusat Penerbangan Angkatan Darat Skadron 21 TNI AD, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (2/2). Helikopter berdaya angkut 15 ton tersebut dapat mengangkut 15 orang termasuk kru. Helikopter tersebut akan ditempatkan di Skadron 31 Semarang, Jawa Tengah. (Foto: KOMPAS/Riza Fathoni)

Sebuah berita dilansir kantor berita Antara, Minggu (13/2) lalu. Isinya, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, memberi bantuan kepada TNI AL. Tidak tanggung-tanggung, Pemkab Kutai Timur menyerahkan satu unit kapal patroli sepanjang 38 meter bernama KRI Kudungga.

Kapal yang rencananya akan dilengkapi dengan satu unit rudal dan dua meriam itu diharapkan memberi kontribusi dan bantuan pengamanan dan pengawasan laut Kutai Timur sepanjang 150 kilometer dari utara hingga selatan, Kaltim pada umumnya, serta kawasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II.

Hadir dalam penandatanganan perjanjian kerja sama yang dilakukan di Sangatta itu, Bupati Kutai Timur H Isran Noor dan Komandan Tamtamal VI Makassar Brigjen (Mar) Chaidir Pattonory mewakili Kepala Staf Armada Wilayah Timur. Gubernur Kaltim H Awang Faroek Ishak dan Ketua DPRD Kutai Timur Harti ikut hadir sebagai saksi.

Chaidir menjelaskan signifikannya kerja sama ini. ”Kerja sama ini merupakan langkah tepat karena keterbatasan anggaran dan alutsista (alat utama sistem persenjataan) yang dimiliki, dan kita dituntut untuk mengefektifkan dan mengefisienkan pencapaian tugas masing-masing, terutama dalam sistem pertahanan untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI,” kata Chaidir.

Kata-kata Chaidir sekilas bersifat normatif dan ideal. Apalagi, kurangnya anggaran alutsista memang menjadi fakta yang telah berulang kali diungkapkan.

Sesuai dengan Buku Putih Pertahanan Kementerian Pertahanan, pembangunan postur pertahanan untuk tahap I (2010-2014) membutuhkan Rp 471,28 triliun yang dipecah setiap tahun. Namun, dalam rapat di Komisi I akhir 2010 lalu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan, untuk tahun anggaran 2011, dari kekurangan sekitar Rp 11 triliun, APBN hanya mampu memenuhi Rp 2 triliun.

Sekilas, kerja sama antara Kabupaten Kutai Timur dan TNI AL itu menjadi terobosan yang inovatif. Toh memang, masalah pertahanan dan pengawasan laut adalah kepentingan seluruh elemen bangsa.

Namun, di balik segala ”kebaikan” ada sebuah pelanggaran berat. Undang-Undang (UU) 34/2004 tentang TNI pada Pasal 66 Ayat 1 dengan gamblang menyatakan, ”TNI dibiayai oleh anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Masih pada pasal yang sama, Ayat 2 menyebutkan, keperluan anggaran tersebut diajukan oleh Departemen Pertahanan.

Pasal ini tentunya memiliki banyak pertimbangan. Pertama, kemampuan setiap daerah berbeda sehingga kalau anggaran pertahanan bisa dibiayai oleh masing-masing daerah, sudah pasti akan muncul ketimpangan antara daerah kaya dan daerah miskin. Kedua, sampai pada tataran yang paling kecil, fasilitas dari tiap daerah bisa menggerus kata ”Nasional” dari TNI. Bisa saja fasilitas yang diperoleh prajurit di daerah yang kaya lebih bagus daripada daerah yang miskin.

Ketiga, pengalihan APBD yang seharusnya untuk pembangunan masyarakat daerah malah berubah alokasi untuk pertahanan. Bukan tidak mungkin, penguasa daerah yang berkuasa memanfaatkan hal ini untuk kepentingannya melestarikan kekuasaan. Komnas HAM saat memaparkan temuan pelanggaran HAM oleh oknum TNI di Papua, 5 Januari lalu, sempat menemukan fakta penggunaan dana APBD untuk operasional tentara pada saat pilkada.

Al Araf, peneliti dari Imparsial, menyoroti kerja sama TNI AL dengan Kabupaten Kutai Timur. Menurutnya, ini jelas melanggar UU 34 TNI. Al Araf mengkhawatirkan akan terjadi situasi pertahanan yang asime- tris antara daerah kaya dan daerah miskin. Hal ini belum termasuk porak-porandanya susunan postur TNI. ”Itu hibah lagi, bagaimana pengawasannya,” tandas Al Araf.

Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul mengatakan, TNI memang tidak boleh didanai APBD. Namun, untuk kerja sama antara Kabupaten Kutai Timur dan TNI AL, menurutnya, hal ini bukan hibah, tetapi pinjam pakai. Kapal pun tidak disebut KRI, tetapi KAL (Kapal Angkatan Laut). Awak kapal terdiri dari 17 orang dari TNI AL dan 6 orang dari Pemkab Kutai Timur. Kapal itu tidak masuk ke dalam inventaris kekayaan negara, tetapi masih ada di daftar inventaris pemda dan biaya operasional kapal ditanggung pemda. ”Tadinya mau diberikan ke TNI, tetapi tidak boleh. Kalau KRI memang tidak boleh, kalau KAL tidak apa,” kata Iskandar.

Praktik ”kerja sama” di Papua dan Kabupaten Kutai Timur masih disertai deretan contoh lain. Mantan Bupati Aceh Tenggara Armen Desky, misalnya, divonis empat tahun penjara karena korupsi APBD, diantaranya menyalurkan anggaran ke TNI.

Dalam konteks lebih besar, masalah keterbatasan alutsista seperti puncak gunung es di air. Dalam penelitian Imparsial tentang pembelian Kapal Patroli KAL 35 oleh pemda-pemda 2003 menyebutkan akibat yang akan timbul. Pertama, timbul relasi ekonomi keamanan antara TNI dan pemerintah daerah. Ini berarti otoritas anggaran yang seharusnya dipegang oleh pemerintah sipil, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, menjadi tergerus. Kedua, muncul peluang-peluang ekonomi politik yang dikhawatirkan bisa menimbulkan perubahan orientasi dan peran TNI tidak lagi jadi satu kesatuan yang loyal kepada pemerintah pusat. (Edna C Pattisina)

Sumber: KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar