Minggu, 07 November 2010

Mantan Hamba Sahaya Menjadi Imam

(Oleh: H. Usep Romli H.M., Pikiran Rakyat)

Hijrah (perpindahan) umat Islam dari Mekah ke Yatsrib (Madinah), berlangsung secara berangsur-angsur. Nabi Muhammad saw, memerintahkan para sahabat terkemuka, untuk menjadi pemimpin rombongan-rombongan umat Islam generasi awal itu, menuju tempat baru yang lebih baik bagi kehidupan kaum Muslimin dan perkembangan agama Islam.
Nabi saw, sendiri bersama sahabat Abu Bakar As Siddik akan berangkat paling akhir setelah semua kaum Muslimin Mekah selamat tiba di Yatsrib.

Tempat berkumpulnya ke dua kaum berjauhan tempat asal yang dipersatukan oleh keimanan dan keislaman, berada si Quba. Mereka menjadikan sebuah lapangan kecil sebagai tempat salat berjamaah.

Akan tetapi, siapakah yang pantas dijadikan imam?
Para sahabat lain yang sudah ada di Yatsrib, seperti Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Hamzam bin Abdul Muthalib, tidak berani mengajukan diri, walaupun mereka termasuk sahabat-sahabat utama. Mereka menganggap kalangan Anshar lebih berhak menjadi imam, sebelum Rasulullah saw. tiba.

Akhirnya, semua sepakat menunjuk Salim, anak angkat Hazaifah. Ia pernah mengalami masa kanak-kanak di Yatsrib. Masuk Islam sejak remaja, ketika dibawa majikannya berkunjung ke Mekah. Bahkan, mendapat status merdeka dari tuannya, Subaitah, istri Huzaifah, salah seorang tokoh Quraisy yang masuk Islam mengikuti jejak Utsman bin Affan.

Atas pertimbangan sebagai “orang pribumi” dan fasih membaca Alquran, Salim akhirnya diangkat menjadi imam salat sementara. Mula-mula ia menolak, karena malu oleh sahabat-sahabat yang lain. Namun, para sahabat Muhajirin tetap menyatakan, Salim paling cocok ditinjau dari pengalaman sebagai orang Yatsrib dan sebagai Muslim generasi awal Mekah.

Namun, tiba-tiba muncul isu-isu negatif yang ditiupkan kaum musyrikin dan kaum Yahudi Yatsrib, yang tidak senang melihat kedatangan kaum Muslimin Muhajirin. Mereka menebarkan kabar penuh ejekan.

Menurut mereka, kaum Muslimin tidak memiliki pemimpin andal dan bermartabat sehingga harus memilih Salim, bekas budak belian asal Romawi yang dijual orang Persia kepada Subaitah, saudagar perempuan terkaya di Yastrib sebagai imam.
Kaum Anshar dan Muhajirin tidak meladeni provokasi tesebut, karena ajaran Islam memiliki prinsip kesatuan dan kesetaraan berdasarkan takwa.

Ketaatan melaksanakan perintah Allah SWT dan kemampuan menjauhi larangan-Nya, bukan karena status masa lalu, warna kulit, kebangsaan, atau pangkat dan jabatan. Salim memenuhi syarat-syarat tersebut. Umat Islam Muhajirin dan Anshar tidak meduli atas ejekan pihak lain yang tidak mengerti bahkan membenci ajaran Islam.
-–Sumber, “AL Wa’dul Haq” karya Dr. Thaha Hussein--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar