Laksamana Madya Agus Suhartono. (Foto: KOMPAS/Totok Wijayanto)
5 Desember 2009, Jakarta -- Laksamana Madya Agus Suhartono, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November lalu, senang karena mulai ada pergeseran paradigma pertahanan kontinental ke maritim. Paling tidak, hal itu yang dirasakannya ketika mendapat arahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dalam rapat kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat pada 30 November lalu. Edna C Pattisina dan Subur Tjahjono
Di Komisi I DPR, saya senang semua bicara soal laut. Minta TNI AL diperkuat, minta kapal patroli diperbanyak. Artinya sudah ada pergeseran pandangan, yang tadinya kontinental menjadi maritim. Presiden sendiri berpandangan, dengan kondisi Indonesia ini, Angkatan Laut dan Angkatan Udara diperkuat,” kata Agus Suhartono.
Bertahun-tahun, terutama pada masa Orde Baru, pendekatan pertahanan Indonesia adalah kontinental. Artinya, pemerintahan Presiden Soeharto berfokus pada penguatan TNI Angkatan Darat. Padahal, pada tahun 1960-an, Indonesia mempunyai armada TNI Angkatan di kawasan Asia Tenggara. Kekuatan laut itu kini yang mulai dibangun kembali.
Untuk mengetahui pemikiran KSAL yang baru ini, sekaligus berkaitan dengan puncak Hari Ulang Tahun TNI AL atau dikenal sebagai Hari Armada Ke-64 yang jatuh hari Sabtu (5/12), Kompas mewawancarainya beberapa waktu lalu. Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Iskandar Sitompul mendampingi KSAL.
Bagaimana membentuk TNI AL yang kuat?
Kuat itu relatif. Kuat adalah sesuai dengan desain yang kita buat karena kekuatan minimum esensial (minimum essential forces/MEF) adalah kekuatan yang kita rancang untuk menghadapi sebuah ancaman tertentu. Kita sekarang memperkuat pasukan khusus laut, seperti Pasukan Katak, Intai Amfibi, dan Denjaka (Detasemen Jala Mangkara).
Dibanding negara tetangga, bagaimana pasukan khusus kita?
Pasukan khusus laut kita, dibanding Singapura dan Malaysia, paling bagus. Semangatnya bagus. Peralatan perlahan kita tingkatkan. Ada joke, Malaysia menganggap pasukan khusus kita itu gurunya. Ini yang jadi efek detterrent (penggentaran) yang bagus.
Apa ada strategi mengatasi masalah anggaran terbatas?
Ya, misalnya soal pasukan khusus tadi. Masalah pembangunan kekuatan tergantung kemampuan anggaran yang dimiliki. Oleh karena itu, untuk minimum saja, kita anggarkan dua atau tiga rencana strategi (renstra). Manakala keuangan negara memungkinkan, bisa jadi dua renstra.
MEF kalau dijabarkan untuk TNI AL bagaimana?
Kita jabarkan sesuai TNI AL, yaitu pertahanan matra laut. Dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat terbuka, ancaman bisa dari mana saja. Kita sudah merumuskan, TNI AL minimal punya kemampuan memutus garis perhubungan laut di dua tempat, di timur dan barat, pada saat yang sama.
Pada saat yang sama juga melaksanakan operasi amfibi di satu tempat. Kita sadar, di Indonesia masih banyak konflik. Oleh karena itu, TNI AL harus punya kemampuan menggeser satu batalyon tim tempur darat ke wilayah Indonesia.
TNI AL juga diberi wewenang penegakan hukum di laut.
Terkait penegakan hukum di laut, koordinasi dengan instansi lain bagaimana?
Di Indonesia, permasalahan laut cukup banyak, demikian juga dengan instansi yang menangani. Kalau mereka disatukan, mampu menangani semua. Kondisi sekarang, setiap instansi melakukan penegakan hukum sendiri.
Kita menganut multiagency single task, banyak instansi, tapi masing-masing hanya menangani satu tugas. Misalnya, Departemen Kelautan dan Perikanan hanya menangani perikanan. Padahal, kapal sebagai aset nasional punya peran yang cukup banyak. Sayang kalau peran itu tidak dioptimalkan. Ini inefisiensi pengelolaan aset.
Kenapa kita tidak berpikir, single agency multitask, satu badan banyak tugas. Jadi, ketemu apa saja, kapal itu bisa tangani. Cuma nanti penyidikannya harus diserahkan kepada penyidik yang berwenang. TNI AL juga sangat mendorong suatu badan baru yang bisa akomodasikan single agency multitask itu.
Bagaimana dengan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang sudah ada?
Bakorkamla hanya sifatnya mengoordinasikan institusi-institusi dengan tugas masing-masing. Jadi, masih multiagency single task. Yang perlu itu, single agency multitask. Sekarang harusnya ada penguatan Bakorkamla atau kita perlu coast guard (penjaga pantai). Nah, itu lebih menarik. Coast guard itu single agency, tapi bisa atasi multitask. Mudah-mudahan ini akan jadi. Saya dengar masih proses.
Apa gangguan dalam keamanan laut dan pelanggaran yang paling menonjol?
Kalau perikanan, paling menonjol di Laut China Selatan dan Laut Arafuru. Kalau transnational crime (kejahatan transnasional) itu di Selat Malaka dan Selat Singapura.
Dengan adanya coast guard, akan ada optimalisasi dari aset yang dimiliki negara sehingga ada efisiensi. Selain itu, kalau dijumlah (kapalnya) jadi banyak. Kalau diatur akan jadi lebih baik pastinya. Di Malaysia juga baru dibentuk.
Bagaimana pengamanan di Selat Malaka?
Nah, kalau itu ikon TNI AL. Kita menjaga Selat Malaka dengan hati-hati sekali. Ada beberapa upaya untuk Selat Malaka dan Selat Singapura. Yang pertama kita bangun integrated maritime surveillance system (IMSS) mulai dari Sabang sampai ke Padang. Jadi, kita tahu persis gerakan kapal. Kita kerja sama dengan Singapura dan Malaysia, untuk patroli bersama. Bahkan, Thailand juga akan masuk untuk patroli sepanjang tahun itu.
Sebenarnya bagaimana kondisi alat utama sistem persenjataan TNI AL kita?
Memang kapal perang itu tidak hanya kapalnya saja, tetapi juga sistem persenjataannya. Kapal-kapal yang lama mampu untuk berlayar dan mampu lakukan tugas penegakan hukum. Mampu untuk bertempur secara terbatas. Itu akan kita tingkatkan kemampuannya.
KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar