KRI Krait produksi TNI AL bekerja sama dengan galangan dalam negeri PT. BES Batam.
20 Desember 2009 -- Untuk kesiapan tempur,tidak ada pilihan lain bagi Indonesia selain membangun kekuatan sendiri. Negara inisebenarnya sudah mampu mengembangkan industri pertahan yang ada. Embargo persenjataan tidak asing dengan dunia pertahanan Indonesia yang mayoritas memakai produk- produk impor.
Meskipun embargo- embargo tersebut dicabut, efeknya tetap terasa.Keterbatasan suku cadang dan beberapa komponen tersebut membuat kesiapan operasional alutsista berada di bawah standar.Kondisi ini tentu menjadikan alutsista kita menjadi ringkih. Beberapa kecelakaan ditengarai terjadi akibat kurangnya kesiapan operasional tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia untuk menjaga kesiapan tempurnya,selain membangun kekuatan sendiri.
Sejumlah industri strategis yang ada terbukti mempunyai kemampuan yang bisa diandalkan. PT Pindad menunjukkan kemampuannya memproduksi amunisi dan senapan serbu yang mampu menjuarai sejumlah eventmiliter internasional, dan belakangan kendaraan taktis tempur.Selain itu, masih ada juga PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL Indonesia.
Selain dua industri strategis tersebut, sejak 1983 (sejak ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1983), Indonesia sudah mempunyai sejumlah badan usaha milik negara industri strategis (BUMNIS) yang mandiri dan secara politis mengemban kepentingan pembangunan pertahanan.Industri strategis dimaksud di antaranya PT Pindad, PT Dahana, PT INKA, PT INTI, PT Krakatau Steel (baja),PT Boma Bisma Indra,PT Barata, dan PT LEN (elektronika).
Kemampuan tersebut mampu membangun kepercayaan diri Indonesia untuk terus membangun industri pertahanannya. Departemen Pertahanan sudah membuat road map bahwa pada periode 2010- 2014 Indonesia harus mampu menghasilkan produk iptek pertahanan dan keamanan seperti sistem peluru kendali, sistem turret kendaraan tempur, pesawat udara nirawak,kapal patroli cepat,wahana bawah air, komponen pesawat udara dan radar, alat komunikasi dan satelit, serta iptek pendukung keamanan.
Pilihan memberdayakan industri- industri dalam negeri, yang bisa mendukung kemandirian pengadaan sarana pertahanan, telah diamanatkan dalam UU No 3/ 2003 tentang Pertahanan Negara.Pasal 23 UU tersebut menyebutkan, dalam rangka meningkatkan kemampuan pertahanan negara,pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan industri dan teknologi di bidang pertahanan.
Kemandirian bidang pertahanan harus disadari menjadi poin esensial bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankan NKRI, sekaligus bertindak sebagai instrumen yang efektif untuk meningkatkan bargaining position dalam hubungan antarnegara. Kemandirian juga merupakan prasyarat bagi negara yang tidak menggantungkan dirinya pada negara lain.
Dengan demikian, kemandirian merupakan parameter penting yang mencerminkan survivability dalam kondisi kritis dan darurat. Meski begitu, membangun industri pertahanan bukanlah perkara mudah.Kendati sudah mendapat dukungan konstitusi, industri pertahanan ternyata tidak kunjung mendapatkan perhatian serius.
Beberapa kali pemerintah mengeluarkan pernyataan akan merevitalisasi,namun tak kunjung terimplementasikan. Beberapa BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL Indonesia bahkan sempat mengalami kerugian puluhan miliar rupiah,dan sempat digugat pailit. Revitalisasi industri pertahanan kembali mendapatkan titik cerah ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memasukkan program tersebut dalam program 100 harinya.
Saat membuka lokakarya nasional ”Revitalisasi Industri Pertahanan”di Istana Negara,Rabu (9/12) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendorong agar industri pertahanan dalam negeri dikembangkan dengan berorientasi pada kebutuhan TNI dan Polri. Pengembangan tersebut tidak hanya memperhitungkan nilai keekonomian, tetapi juga menjadi investasi jangka panjang untuk membangun kemandirian bangsa.
Presiden pun meminta agar desain produk industri pertahanan dalam negeri perlu disesuaikan dengan kondisi geografis Tanah Air. Pernyataan Presiden tersebut kembali ditegaskan Menhan Purnomo Yusgiantoro pada Jumat (11/12) seusai penandatanganan nota kesepahaman Program Revitalisasi Industri Pertahanan Dalam Negeri.Menurut Purnomo, pemerintah berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan persenjataan TNI dan Polri dari industri pertahanan dalam negeri.
Komitmen tersebut akan tetap dilakukan walau diakui pula pihak produsen dalam negeri tersebut memiliki banyak kekurangan dan mengalami banyak kendala, seperti terkait masalah harga,kualitas dan spesifikasi teknis produk,serta soal pelayanan purnajual. “Kalau ingin memajukanindustripertahananini memang ada yang harus kita korbankan,”ujar Purnomo. Demi mempercepat komitmen tersebut, pemerintah juga sudah mengatur skema dan sumber pendanaan.
Ada tiga skema yang ditawarkan: Pertama, pendanaan pinjaman dari dalam negeri harus didukung dengan keluarnya petunjuk teknis menteri keuangan terhadap Keppres Nomor 54 Tahun 2008.Kedua, kemungkinan penerbitan obligasi oleh industri pertahanan. Ketiga, skema pendanaan melalui mekanisme jalur korporat yang dijamin pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan perlunya mekanisme penunjukan langsung sebagai solusi terbatasnya pasar pengadaan barang dan jasa di sektor pertahanan. Bersamaan dengan penandatanganan nota kesepahaman Program Revitalisasi Industri Pertahanan Dalam Negeri, pemerintah melalui Dephan juga menandatangani kontrak pembuatan tiga pesawat intai maritim (Maritime Patrol Aircraft/MPA) CN-235 dengan nilai mencapai USD80 juta.
Dirut PT Dirgantara Indonesia (DI) Budi Susanto meyakinkan produknya telah dipasangi sensor deteksi dan penginderaan sehingga memiliki kemampuan untuk melaksanakan misi pengintaian, penginderaan, dan targeting. Anggota Komisi I DPR Sidarto Danusubroto mendukung penuh rencana revitalisasi tersebut. Menurutnya, pengadaan alutsista harus diprioritaskan untuk industri dalam negeri meski untuk alutsista teknologi tinggi memang masih harus diimpor.
Tanpa diberikan kepercayaan, industri pertahanan dalam negeri tidak akan berkembang. Selama ini komitmen masih dalam batas statement . Padahal bangsa ingin melihat industri ini betul-betul dimanfaatkan dengan optimal oleh TNI dan Polri,”tambahnya. Keraguan akan komitmen tersebut diakui Direktur Jenderal Sarana Pertahanan Dephan Marsekal Madya TNI Eris Herryanto.
Dia mengatakan, berdasarkan evaluasi, selama ini tidak ada upaya strategis menuju kemandirian. Akhirnya pengembangan industri pertahanan tidak terkoordinasi dengan baik.Tapi untuk ke depan dia menjamin pemerintah sangat serius. Hasil seminar-seminar bukan sekadar rekomendasi.
Itu sudah merupakan aksi nyata bukan cuma ngomong-ngomong aja. Kita akan mengajukan peraturan presiden sebagai kebijakan. Kita atur dalam regulasi dan kebijakan, tegasnya saat ditemui Seputar Indonesia di Dephan beberapa waktu lalu.
SEPUTAR INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar