Leuit, bukan Sekedar Lumbung Padi
Setelah melalui hutan lebat, pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut tampak sekumpulan rumah. Meski terbuat dari kayu, mereka kokoh berdiri di kaki bukit Cikarancang, wilayah yang kini berada di kawasan Taman Nasioanal Gunung Halimun-Salak. Itulah Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. Secara administratif, kampung itu termasuk ke dalam wilayah Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Begitu memasuki pintu gerbang kampung, di antara rumah-rumah peduduk, terdapat bangunan mungil yang berbaris rapi. Akan halnya rumah penduduk, bangunan itu juga beratap ijuk. Itulah leuit, bangunan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi.
“Tradisi menyimpan padi di dalam leuit masih kami pertahankan hingga sekarang,” ujar Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, pemegang wewengkon Kasepuhuan Ciptagelar.
Selain warga, secara kelembagaan, Kasepuhan Ciptagelar pun memiliki leuit khusus yang berukuran lebih besar yang dinamakan “Si Jimat”. Leuit tersebut diletakkan tepat di samping imah gede, “rumah dinas” abah.
Sesungguhnya, leuit merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki masyarakat tradisional negeri ini, tak di Jabaw Barat, leuit alias lumbung padi juga dikenal oleh masyarakat di sejumlah daerah. Simpanan padi di dalam leuit sebagai wujud kesiapan masyarakat untuk menghadapi kondisi paling buruk, yakni msa paceklik.
Akan tetapi, sejauh ini, masa paceklik tak pernah menghampiri. Jadilah leuit mengalami pengayaan fungsi. Hari-hari ini, fungsi leuit “Si Jimat” yang paling menonjol adalah sebagai sumber dana talangan bagi warga yang kekuarang modal. Biasanya, warga meminjam padi dari dalam leuit untuk kemudian dibelikan pupuk, benih, dan sebagainya. Mereka baru mengembalikan pinjaman ketika panen.
Abah Ugi berkisah, pada tahun 1984, Kasepuhan Ciptagelar mampu menyumbang beras terbesar ke Etiopia. Ketika itu, negeri di Benua Afrika tersebut dilanda bencana kelaparan. “Pemerintah Indonesia saat itu memutuskan untuk mengirim bantuan bahan makanan kesana. Alhamdulillah, Ciptagelar bisa berkontribusi,” ujar Abah Ugi.
Hal, serupa berlaku di Kampung Adat Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis. Menurut Ketua Adat, Abah Karman (49), terdapat sepuluh leuit di seantero Kampung Kuta. “Dalam hal ini, adat hanya memiliki satu leuit. Adapun sisanya adalah milik pemerintah kampung dan milik pribumi.
Akan halnya di Kampung Ciptagelar, leuit di Kampung Kuta, berfungsi juga sebagai sumber talangan warga ketika menghadapi masa bercocok tanam. (Hasmirullah/”PR”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar