Kamis, 04 Februari 2010

Batas dengan 10 Negara Belum Selesai


5 Februari 2010, Jakarta -- Banyak masalah perbatasan hingga kini belum selesai. Hal itu menyangkut perbedaan persepsi yang kompleks sehingga membutuhkan pembicaraan lebih lanjut. Karena itu, masalah perbatasan menjadi bahan kajian utama Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan tahun 2010.

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan (Strahan) Kemhan Syarifudin, Kamis (4/2). Salah satu yang menjadi prioritas adalah masalah perbatasan darat antara Malaysia dan Indonesia yang tersebar di sepuluh segmen antara Sebatik dan Tanjung Datu. Hingga kini ada sekitar 39 kali perundingan untuk membahas rentang wilayah yang melewati kawasan Sungai Sinapat dan Gunung Raya.

Syarifudin menggarisbawahi, masalah perbatasan tidak disebabkan patok hilang atau bergeser. Sebab, perbatasan ditentukan berdasarkan koordinat. Permasalahan yang ada justru berkaitan dengan penegasan perbatasan yang sudah ditetapkan. ”Peta Malaysia berasal dari Inggris, peta Indonesia dari Belanda, jadi pasti ada perbedaan persepsi,” kata Syarifudin.

Berkaitan dengan perbatasan di wilayah Ambalat, Direktur Wilayah Pertahanan Ditjen Strahan TH Soesetyo mengatakan, pihaknya tidak bisa menentukan kapan masalah Ambalat selesai. Hingga saat ini ada sekitar 18 kali perundingan. Malaysia sering melakukan tindakan yang dinilai Indonesia mengulur-ulur waktu.

Menanggapi hal itu, Syarifudin menekankan, sebagai negara yang berdaulat, tentunya Indonesia membutuhkan kekuatan militer sebagai posisi tawar di balik perundingan-perundingan tersebut. ”Oleh karena itu, kami menyusun MEF (minimum essential force) yang merupakan posisi tawar kita untuk negosiasi,” kata Syarifudin.

Ibnu Wahyutomo, Kepala Subdirektorat Perjanjian Politik Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri, mengatakan, selama ini yang menjadi kendala perundingan adalah masalah internal negara. Misalnya, Palau, negara kepulauan di Samudra Pasifik, yang tidak memiliki uang untuk berunding di luar negaranya. Saat ini, Indonesia masih memiliki agenda perundingan perbatasan dengan sepuluh negara untuk masalah perbatasan di laut.

Syarifudin mengatakan, yang perlu didorong adalah realisasi dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan yang memiliki otoritas.

Perpres Tunjangan Prajurit di Perbatasan belum Tuntas

Masalah perbatasan belum dituntaskan hingga seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu II berlalu. Draf peraturan presiden tentang tunjangan prajurit di perbatasan belum juga dikeluarkan oleh pemerintah.

"Itu program seratus hari Kementerian Pertahanan sudah selesai, tapi pengeluaran pepres kan sekretaris kabinet," kata Wakil Menhan Letjen Sjafrie Sjamsoeddin kepada wartawan seusai rapat tertutup bersama DPR di Jakarta, Kamis (4/2).

Ia berharap perpres tersebut dapat keluar dalam waktu dekat. Sementara itu, pihaknya juga meyakinkan jika aplikasi perpres itu segera dilakukan saat perpres keluar. Pihaknya telah mengajukan besaran anggaran untuk itu dan Kementerian Keuangan sudah mengalokasikan anggaran sebagai persiapan menunggunya perpres. "Perpres itu legalitasnya. Jadi, kita tunggu legalitasnya," sahutnya.

Besaran untuk tunjangan prajurit perbatasan, sambung dia, adalah sebesar 150 persen dari gaji pokok. Perinciannya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor S-15/MK.02/2010 terbagi tiga. Pertama, prajurit TNI dan PNS yang bertugas dan tinggal di wilayah pulau-pulau kecil terluar tanpa penduduk ditingkatkan sebesar 150 persen dari gaji pokok.

Kedua, prajurit TNI dan PNS yang bertugas dan tinggal di wilayah pulau-pulau kecil terluar berpenduduk ditingkatkan sebesar 100 persen dari gaji pokok dan 75 persen bagi prajurit TNI dan PNS yang bertugas dan tinggal di wilayah perbatasan. Ketiga, prajurit TNI dan PNS yang bertugas di wilayah udara dan laut perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar sebesar 50 persen dari gaji pokok.

KOMPAS/MEDIA INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar