Senin, 14 Desember 2009

Kehadiran Negara di Perbatasan Harus Diperkuat

KRI Kakap kapal patroli cepat TNI AL. (Foto: TNI AL)

14 Desember 2009, Tarakan -- Pemerintah dinilai belum serius membangun wilayah perbatasan RI-Malaysia seperti terlihat di Kalimantan Timur. Bukti kehadiran negara, baik fisik maupun informasi, amat minim. Akibatnya, orientasi politik, sosial, dan budaya warga perbatasan berkiblat ke Malaysia.

Tujuh anggota Komisi I DPR RI menegaskan hal itu setelah mengunjungi Tawau, Sabah (Malaysia), Nunukan dan Tarakan di Kalimantan Timur (Kaltim), akhir pekan lalu. Mereka adalah Hayono Isman (ketua tim), Ny Soemientarsi Muntoro, Tantowi Yahya, Fayakhun Andriadi, Muchamad Ruslan, Achmad Basarah, dan Achmad Daeng Sere.

Setelah Tawau, Sabah, Malaysia (Kompas, 11/12), rombongan mengunjungi Sebatik, pulau yang secara administratif terbagi atas wilayah RI dan Malaysia. RI menguasai bagian selatan pulau dan membaginya menjadi dua kecamatan dengan jumlah total penduduk 32.272 jiwa. Bagian utara pulau dikuasai Malaysia dan menjadikannya sebagai lahan perkebunan sawit dan tanpa penduduk yang menetap permanen.

Ragam masalah

Sebatik wilayah RI terbagi atas Kecamatan Sebatik Barat dan Sebatik. Dalam pertemuan dengan tim Komisi I, penduduk Sebatik Barat mengeluhkan ketiadaan listrik, kesulitan air bersih, dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Camat Sebatik Barat Junaidi melaporkan, tiang-tiang listrik yang dilengkapi jaringan kabel sudah dibangun sejak tahun 1991. Namun, hingga kini listrik belum nyala.

Warga menyebut tiang dan kabel itu sebagai ”tiang tali jemuran terpanjang di dunia”. Penduduk Kecamatan Sebatik sudah lama dilayani penerangan listrik sekalipun dalam sehari bisa terjadi pemadaman berkali-kali.

Komisi I heran mengapa negara lamban melayani kebutuhan dasar warga perbatasan. Listrik merupakan salah satu bentuk fisik dari kehadiran negara di perbatasan. ”Listrik tidak saja membangkitkan ekonomi kreatif warga, tetapi juga menarik investasi dan salah satu bukti kehadiran negara di sini,” kata Hayono.

Kata Basarah, sudah keterlaluan kalau masalah listrik terbengkalai sampai hampir 10 tahun. ”Kalau setahun dua tahun saja, mungkin masih bisa dimaklumi. Akibatnya, muncul kesan di kalangan warga pemerintah tidak peduli terhadap kebutuhan dasar warga perbatasan,” katanya.

Fasilitas pangkalan udara TNI di Tarakan, sebagai pangkalan terdepan di perbatasan, tertinggal jauh dari pangkalan angkatan udara Malaysia di Tawau, Sabah. Misalnya, landasan pacu Tarakan berukuran 2.250 x 45 m, Nunukan 900 x 23 m. Panjang landasan Tawau 2.670 x 47 dan Kinabalu 3.050 x 45 m. Panjang landasan berkaitan erat dengan kemampuan operasional pesawat patroli atau pesawat tempur.

Kapal-kapal patroli TNI AL, selain kapal perang KRI, di pantai timur Kalimantan juga terbatas. Ada satu kapal patroli mewah di Nunukan, yang ditempatkan sejak dua tahun silam tidak bisa beroperasi karena kesulitan bahan bakar. Kapal berkecepatan 40 knot per jam itu menggunakan bensin, tetapi stok bahan bakar kebanyakan solar.

Kiblat ke Malaysia

Rombongan Komisi I prihatin terhadap berbagai persoalan perbatasan. Basarah melihatnya sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah, pusat dan daerah, membangun perbatasan sebagai etalase bangsa. Akibatnya orientasi politik, sosial, dan budaya warga berkiblat ke Malaysia.

Misalnya, warga lebih sering dan mudah mengakses informasi, publikasi, dan penyiaran di bidang politik, ekonomi, budaya dan perkembangan dunia lain dari media Malaysia. Mereka menghafal lagu-lagu pop Melayu yang dinyanyikan artis Malaysia ketimbang artis Tanah Air.

Tantowi dan Fayakhun menambahkan, jangan salahkan warga jika mereka berkiblat ke ”seberang”. Pemerintah RI harus mengubah cara pandang membangun perbatasan serta terus memperkuat kehadiran negara di perbatasan, baik itu secara fisik (bangunan) maupun penyebaran informasi.

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar