Sejumlah prajurit Kodam XVII/Cenderawasih melakukan atraksi seni beladiri. (Foto: ANTARA/Oka Barta/Koz/mes/08)
10 September 2009, Jakarta -- Ide perampingan struktur TNI dengan menghilangkan Kodam dan satuan dibawahnya ditolak mentah-mentah KSAD Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo. Pasalnya perampingan struktur harus mengubah ideologi sistem pertahanan keseluruhan.
"Memang konsep pertahanan kita adalah konsep pertahanan rakyat semesta, dimana kita menggunakan rakyat sebagai kekuatan pertahanan negara kita. Bimter ini adalah satuan aparat kita yang tugasnya membina, jadi nggak bisa dihilangkan dan ditempatkan di daerah rawan," jelas KSAD kepada wartawan disela-sela buka puasa bersama di Jakarta, Rabu (9/9).
KSAD mempertanyakan dengan hanya menempatkan kesatuan di daerah rawan, ketika daerah rawan berpindah apakah kemudian kesatuan itu dipindahkan pula. Padahal komando teritorial juga berfungsi untuk deteksi dini terhadap ancaman pertahanan. Dengan demikian, struktur itu tidak mungkin dibubarkan. "Tidak mungkin. Kalau dibubarkan doktrinnya berubah," tandasnya.
TNI: 70% Persenjataan harus Diganti
Tank PT-76 milik Marinir dibeli 1962 dari Uni Sovyet, dikirimkan 1964 untuk persiapan Operasi Dwikora. Saat ini masih digunakan setelah dilakukan peremajaan. (Foto: Mulanmulan)
Sekitar 70% persenjataan yang dimiliki TNI sudah saatnya untuk diganti dengan yang baru, kata Juru bicara TNI Marsekal Muda TNI Sagom Tamboen.
"Sekitar 70% persenjataan yang dimiliki TNI sudah berusia di atas 20 tahun dan memang sudah saatnya diganti," katanya, saat dikonfirmasi hasil audit bersama Departemen Pertahanan dan Mabes TNI tentang alat utama sistem senjata, di Jakarta, Rabu (9/9).
Namun begitu, apakah seluruh persenjataan itu akan langsung dikandangkan dan tidak digunakan lagi, itu perlu kajian dan penelitian lebih lanjut," ujarnya menambahkan.
Bagaimana pun, tambah Sagom, TNI tetap membutuhkan peralatan dan persenjataan untuk latihan dan melaksanakan operasi sesuai tugas pokok, peran dan fungsi TNI.
Jika semua peralatan dan persenjataan yang telah berusia diatas 20 tahun langsung dikandangkan, TNI tidak dapat melaksanakan latihan rutin untuk memelihara kesiapan operasional dan profesionalitasnya.
Sagom mengemukakan, peralatan dan persenjataan TNI yang berusia lebih dari 20 tahun, sebagian telah mengalami peremajaan (retrovit) atau repowering. "Sehingga masih tetap kita pakai, meski sudah saatnya diganti dengan yang benar-benar baru," tuturnya.
Ia menambahkan, saat ini rata-rata kesiapan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI hanya berkisar antara 40-70% dari kebutuhan ideal. Sebagian peralatan dan persenjataan TNI merupakan 'sisa' pengadaan pada era 1960-an, 1980-an dan periode 1990 hingga 2000.
Era 1960-an boleh dikatakan sebagai masa puncak kejayaan TNI tidak saja di kawasan ASEAN, tetapi juga belahan bumi Selatan. Sayang masa kejayaan itu tidak bertahan lama. Pada era 1970-an kondisi dan tingkat kesiapan alutsista yang dimiliki TNI cenderung menurun. Pesawat, kapal dan kendaraan tempur asal negara Timur banyak yang harus diistirahatkan dan diganti buatan negara negara barat.
Kebangkitan TNI baru terasa kembali pada 1980-an. Saat itu TNI diperkuat dengan beberapa persenjataan dan peralatan baru meski tidak terlalu siginfikan. Kondisi ini mengalami sedikit perbaikan di era 1990-2000 dengan penambahan dua Sukhoi, dua Korvet dan panser VAB. "Selain itu, sebagian besar peralatan TNI atau sekitar 70% telah berusia diatas 20 tahun," kata Sagom.
Tim Studi Alutsista DPR tidak Menemukan Kebocoran Dana Pemeliharaan
Tim studi alutsista DPR pimpinan Yusron Ihza Mahendra menyatakan tak menemukan kebocoran dana pemeliharaan alutsista, utamanya pesawat. Hasil studi menunjukkan bahwa minimnya anggaranlah penyebab utama kecelakaan pesawat yang lima kali terjadi pada tahun 2009.
"Dalam studi, kami tidak bicara khusus untuk Nomad. Studi menunjukkan ada keterkaitan antara anggaran yang tidak cukup dengan kecelakaan yang terjadi di mana 5-10 tahun terakhir hanya terpenuhi 1/3 dari kebutuhan minimum," kata Yusron kepada Media Indonesia di Jakarta, Rabu (9/9).
Sepertiga anggaran yang tersedia, kata dia, cenderung mengurangi biaya untuk peremajaan alutsista dan biaya perawatan alutsista. Padahal, kebutuhan minimum essential force sendiri memerlukan biaya hingga Rp 120 triliun.
"Dengan tercukupinya kebutuhan minimum saja, perawatannya pasti pas-pasan. Nah, yang minimum ini hanya terpenuhi sepertiganya, berarti perawatannya kurang dari pas-pasan," terangnya.
Perintah Presiden SBY untuk mengkandangkan dulu pesawat yang tidak layak juga dipertanyakannya. Melihat kondisi alutsista, ia menyatakan bahwa sebagian besar pesawat bakal dikandangkan. "Lalu, apa yang ada di luar kandang? Bagaimana TNI beroperasi dengan keadaan seperti itu?" tanyanya retoris.
Ia mengatakan bahwa hasil tersebut akan dibahas secara internal terlebih dahulu. Pemaparan secara terbuka akan diajukan pada rapat bersama pemerintah pekan depan. Apakah studi tersebut menemukan kebocoran dana perawatan? Ia menjawab mungkin saja tapi ia tak menemukannya sejauh ini.
MEDIA INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar