Perwira TNI AU memeriksa pesawat tempur Sukhoi Su-30MK2 saat acara serah terima pesawat dari pabrik pesawat Sukhoi ke pemerintah Indonesia di Makassar, 2 Februari 2009. (Foto: Xinhua/Reuters)
5 September 2009, Jakarta -- Pemerintah Indonesia masih memiliki sisa komitmen pendanaan Alat Utama Sistem Persenjataan (alutista) dengan Rusia senilai US$ 900 juta. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang akan mengusahakan komitmen ini, agar ke depan bisa dipakai secara maksimal.
Direktur Pinjaman dan Hibah Departemen Keuangan Maurin Sitorus mengatakan dana sebesar itu adalah sisa dari komitmen yang pernah disepakati pada tahun 2007 lalu.
"Saat itu ada komitmen untuk state credit untuk pembelian peralatan alutista dari Rusia dengan pagu sebesar US$ 1 miliar dan baru terpakai US$ 100 juta," kata Maurin di Kantor Menko Perekonomian, Jumat 4 September 2009.
Untuk 2010, pemerintah akan mengusahakan dana ini guna mengoptimalkan pembelanjaan alutista Indonesia. "Nanti mengenai alutista sendiri kami harapkan ada kelanjutan G to G dari pagu yang tersisa," katanya.
Sisa pagu ini, kata dia, bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Pagu kemarin baru terpakai sedikit karena saat itu negosiasi harga tidak berjalan mulus. "Negosiasi berjalan alot, sehingga realisasi minimal," katanya.
Menurut Maurin, pihak Rusia yang menjalin kerjasama ini adalah BUMN Rusia, Roso Boron Export. "Itu partner Dephan kita," katanya.
Selain itu untuk memperkuat persenjataan dalam negeri, pemerintah tahun lalu juga telah mengeluarkan PP 54 tahun 2008 tentang pinjaman dalam negeri. "Sesuai dengan PP ini tahun depan kita menganggarkan Rp 1 triliun untuk pembiayaan produk-produk pertahanan atau alutista yang bisa dihasilkan dari dalam negeri," ujar Maurin.
Sumber anggaran Rp 1 triliun ini, kata dia, asalnya dibatasi hanya dari BUMN, Pemda dan institusi yang memiliki anggaran surplus. "Itu
karena sifatnya pinjaman dalam negeri, nanti mungkin pertama akan diusahakan dari perbankan," ujarnya.
VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar