Selasa, 14 Juli 2009

Membangun Kemandirian TNI Angkatan Laut

Oleh Laksamana TNI (purn) Sumardjono (Kepala Staf TNI Angkatan Laut 2007-2008)

Berbicara tentang sistem pertahanan suatu negara, maka tidak cukup dengan melihat strategi, postur, serta doktrin pertahanannya. Juga tidak cukup bila sekedar melihat jumlah kekuatan, pengorganisasian, sarana dan prasarana pendukung kekuatannya.

Lebih dari itu harus dilihat kemampuan industri negara dalam mendukung, ataupun memproduksi sarana dan prasarana pertahanannya. Tidak berlebihan bila dikatakan kemampuan industri pertahanan suatu negara menjadi salah satu tolok ukur kemampuan pertahanan negara tersebut.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Adalah suatu kenyataan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, negara maritim, dengan luas wilayah lebih dari 50.000 km persegi. Panjang pantainya lebih dari 81.000 km, dengan dua pertiga dari luas wilayahnya berupa laut, dan sepertiga bagian dari luas wilayah itu adalah daratan berupa pulau-pulau besar maupun kecil yang tersebar di antara lautan.

Dalam konsep negara kepulauan, laut tersebut berfungsi sebagai penghubung atau penyambung keberadaan pulau-pulau, bukan sebagai pemisah pulau.

Undang Undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara mengamanatkan penyusunan sistem pertahanan negara harus mengacu kepada bentuk geografi negara. Guna menopang sistem pertahanan tersebut, maka TNI-AL menetapkan visi menuju angkatan laut yang besar, kuat, profesional, dan solid, agar mampu menjamin kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI serta melindungi warga negara Indonesia khususnya masyarakat pengguna laut.

Dengan bentuk geografi sebagai negara kepulauan dengan wilayah NKRI yang sangat luas itu, tuntutan untuk memiliki angkatan laut yang besar, kuat, bukanlah kemewahan tetapi merupakan suatu kebutuhan.

Pada 1960-an pemerintah Indonesia membeli alat utama sistem pertahanan (alutsista) untuk Angkatan Laut dari Uni Soviet yang terdiri dari berbagai jenis kapal atas air, kapal selam, dan pesawat terbang, lengkap dengan persenjataan dan teknologi pada masa itu.

Alutsista yang cukup besar jumlahnya itu pada 1970-an telah menjadi besi tua, dan pada tahun 1980-an pemerintah membeli kapal-kapal baru dari Eropa seperti korvet, kapal selam, buru ranjau, Patrol Ship Killer, Landing Ship Tank, Fast Patrol Boat, diikuti dengan perencanaan yang sangat bagus mulai dari sistem penyiapan sumber daya manusia untuk pengawak alutsista, sistem pemeliharaan dan perbaikan, termasuk integrated logistic support disertai anggarannya.

Dengan dukungan anggaran yang ditetapkan, diharapkan kapal-kapal baru dari blok barat tersebut dapat beroperasi sampai 30 tahun ke depan dan berfungsi sebagaimana telah direncanakan.

Dalam perjalanannya, pemerintah menambah kapal-kapal yakni tiga fregat Tribal class dari Inggris, enam fregat Van Speijk class dari Belanda serta 39 kapal bekas dari Jerman Timur yang terdiri dari 16 korvet, 14 LST, dan 9 penyapu ranjau.

Bertambahnya kapal-kapal tersebut, memerlukan pembiayaan ekstra dalam pengoperasian, padahal anggaran tidak bertambah. Akibatnya, pengoperasian kapal-kapal terganggu, karena sebagian dana dipakai untuk perbaikan kapal-kapal bekas agar bisa melaut sesuai dengan fungsi asasinya.

Pada sisi lain, keberadaan badan penelitian dan pengembangan belum maksimal dalam menjalankan tugasnya, khususnya yang bersifat strategis, lagi-lagi karena hambatan dana. Anggaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) sangat kecil. Dengan kondisi anggaran yang minim, badan-badan penelitian yang ada tidak bisa fokus menentukan kegiatannya.

Sementara itu, keberadaan industri yang mempunyai nilai strategis yang tergabung dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMNIS), pada umumnya juga belum bisa menghasilkan produk sesuai harapan karena terbentur permodalan, manajemen, sumber daya manusia.

KRI Ajak kapal patroli buatan PT. PAL Surabaya salah satu BUMNIS.

Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang belum membaik selama beberapa dasawarsa, sulit bagi pemerintah untuk menaikkan anggaran belanja negara guna mewujudkan kesejahteraan rakyat sekaligus membiayai sektor keamanan nasional secara maksimal.

Kebijakan pemerintah dalam membangun kekuatan pertahanan sebatas essential force (kekuatan minimum), hanya mampu memberikan anggaran kurang lebih 30 persen dari kebutuhan ideal kekuatan minimum.

Dari sisi TNI Angkatan Laut, keterbatasan anggaran yang disebabkan belum membaiknya perekonomian negara tersebut, memerlukan suatu rencana aksi; bagaimana mewujudkan misi TNI AL yang besar, kuat, profesional, dan solid dalam mendukung strategi pertahanan negara di laut di tengah keterbatasan anggaran yang tersedia.

Kemandirian


KRI Krait jenis Patroli Cepat (PC-40) yang dibuat oleh Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan (Fasharkan) TNI AL Mentigi Tanjung Uban, Riau bekerja sama dengan PT Batam Express Shipyard (BES), Batam.

Anggaran hendaknya jangan dijadikan alasan pembenar untuk tidak bisa memenuhi kebutuhan alutsista dalam memperkuat postur pertahanan. Sistem pertahanan negara akan kuat bila didukung oleh industri pertahanan yang kuat, artinya Indonesia perlu melangkah menuju kemandirian nasional dalam memenuhi kebutuhan peralatan pertahanan.

Dengan terpenuhinya peralatan pertahanan dari dalam negeri, maka ketergantungan pada produk luar negeri secara bertahap akan berkurang. Selain itu terjadi penyerapan tenaga kerja, terciptanya standardisasi alutsista sehingga pengoperasiannya menjadi efisien dan efektif, memiliki kerahasiaan tinggi serta bebas embargo.

Suplai suku cadang juga terjamin, dan mudah melakukan pengembangan teknologi berbasis dari teknologi yang sudah dikuasai.

Semuanya itu bila dilakukan akan memutar roda ekonomi dalam negeri sekaligus menekan devisa ke luar negeri. Agar bisa dilakukan, perlu komitmen kuat dan konsisten dari para pemimpin negeri ini di setiap strata, mengingat bahwa kegiatan ini memerlukan waktu yang lama dan lintas generasi. Agar kemandirian bisa terwujud maka "keinginan untuk mandiri" harus lebih kuat daripada "keinginan untuk bergantung".

"Keinginan untuk meyakini produk sendiri", dan "keinginan untuk berkembang" harus lebih kuat daripada "keinginan pasar" sehingga perlu ada sosialisasi untuk "mencintai produk sendiri" dan "bangga menggunakannya".

Dari semua itu faktor yang sangat penting dan menjadi kunci keberhasilan menuju kepada kemandirian adalah: (1) semangat, (2) komitmen, dan (3) konsistensi para pemimpin.

Janganlah faktor anggaran yang kurang, menjadi alasan untuk tidak melakukan gerakan menuju kemandirian. Harus disadari bahwa anggaran akan selalu kurang, karena itu perlu dicari terobosan atau solusi: mengubah hambatan menjadi peluang.

Bagaimana cara menuju kemandirian? Pertama, melalui langkah penelitian dan pengembangan sebelum barang diproduksi berdasarkan spesifikasi teknis dari pembeli. Pola ini memerlukan waktu yang panjang serta perlu biaya mahal. Kedua, melalui alih teknologi saat pembelian barang dengan membuat rencana kerjasama antara pihak pembeli dengan pabrik pembuat.

Bentuk kerjasama alih teknologi tersebut bermacam-macam, tergantung keperluannya. Alih teknologi yang dikembangkan TNI-AL pada saat pengadaan kapal kombatan jenis korvet Sigma dari galangan kapal Royal Scheelde Belanda dan kapal angkut jenis Landing Platform Dock (LPD) dari Daewoo Korea Selatan misalnya, adalah dari empat kapal korvet Sigma maupun LPD yang dibeli, maka pembangunan kapal pertama dilakukan di pabrik asal, sedangkan kapal kedua dibangun di Indonesia dengan komposisi 50 persen tenaga ahli dari negeri pabrik kapal, dan 50 persen tenaga dalam negeri Indonesia.

Proses pengerjaan kapal jenis LPD pesanan Dephan yang dikerjakan di PT. PAL Surabaya. (Foto: mastekhi.com)

Kapal ketiga dibangun di tanah air dengan pihak negeri pabrik kapal sebagai pengawas, sedangkan tenaga pelaksananya adalah tenaga Indonesia. Kapal keempat, semua sudah ditangani putra-putri Indonesia, dengan pengawas juga orang Indonesia.

Namun apa yang telah direncanakan belum berjalan seperti apa yang diharapkan karena beberapa adanya sejumlah kendala, sehingga keempat kapal, dibangun di Scheelde Ship Building Belanda (korvet Sigma), sedangkan jenis LPD, dua dibangun di Korsel, dan dua dibangun di Indonesia

Demikian pula untuk rencana pengadaan dua kapal selam yang akan datang, diharapkan satu kapal dibuat di negeri pembuat (pemenang tender) dan kapal berikutnya sudah dibuat di dalam negeri.

Dengan demikian alih teknologi pada setiap pengadaan alutsista atau perlengkapannya, diharapkan akan bisa dilakukan dan dapat meningkatkan kemampuan industri dalam negeri sehingga pengadaan peralatan berikutnya sudah dilakukan oleh industri dalam negeri.

Alih teknologi dengan sendirinya juga akan peralatan serta alutsista secara otomatis terstandardisasi dan memudahkan pembinaan maupun pengoperasian alutsista dan perlengkapan tersebut yang akan berdampak pada penekanan penggunaan biaya (anggaran).

Di sisi lain, pengembangan terhadap hasil alih teknologi yang melekat pada alutsista dapat dikembangkan secara berlanjut. Sebagai contoh, Korea Selatan telah berhasil memproduksi kapal selam jenis U-209 hasil alih teknologi dari Jerman yang selanjutnya dikembangkan sendiri dengan memproduksi kapal selam jenis U-212 dan U-214.

Khusus untuk rencana pembangunan kapal selam, pihak TNI AL juga mengembangkannya melalui penelitian, bekerja sama dengan instansi terkait lainnya (Badan Penelitan dan Pengembangan Dephan), Perguruan Tinggi dalam negeri dan Kementerian Ristek, pada kenyataannya perlu waktu panjang selain dana yang tidak sedikit, karena pembuatan kapal selam memiliki tingkat kesulitan dan resiko lebih tinggi daripada kapal atas air.

Tahapan alih teknologi dalam pembangunan suatu kapal, bisa dimulai dari pelibatan saat rancang bangun, pembangunan kapal, dalam hal ini saat perakitan komponen komponen kapal, uji coba baik saat kapal masih ditambat di pangkalan maupun saat melaut, hingga finalisasi (uji fungsi).

Komponen komponen kapal tersebut mungkin didatangkan dari luar negeri sesuai tuntutan spesifikasi teknis pembeli/pengguna, namun secara bertahap harus bisa diganti dengan produk dalam negeri mulai dari peralatan yang sederhana (radio, alat navigasi, set perlengkapan dapur, mebel, pompa air, dll) dan secara bertahap peralatan dengan kandungan teknologi tinggi diharapkan juga sudah diproduksi di dalam negeri.

Dengan terlaksananya alih teknologi terhadap pengadaan alutsista, telah terbuka pintu menuju kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan alutsista angkatan laut. Dengan kemandirian itulah gerbang menuju visi Angkatan Laut yang "besar", "kuat", "profesional", dan "solid" dapat diwujudkan.

Besar dalam kapasitas alutsista, dan hasil produk sendiri. Kuat menunjukkan kapasitas kekuatan dengan daya tangkal (deterrence) yang sulit diprediksi oleh lawan. Profesional, menunjukkan keahlian dalam pengawakan organisasi, pengoperasian alutsista, keuletan, kegigihan, dan percaya diri pada keberhasilan misi. Solid mengandung arti adanya ikatan yang kuat, kompak, tanggung jawab terhadap pencapaian tugas yang diemban.

ANTARA News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar